Bab 28

24 2 3
                                    

Beberapa hari berlalu setelah makan malam canggung yang dirasa Arian.

Adhira tengah mempelajari beberapa berkas yang ia terima dari bu Jana perihal program DLL yang akan diselenggarakan dua bulan lagi di LMU München. Dalam program tersebut ia akan mendapat pembahasan mendalam modul-modul pengajaran bahasa dan menjalankan program hospitasi serta praktik di kelas-kelas bahasa Jerman pada beberapa tempat kursus di München. Satu modulnya berlangsung selama dua bulan. Dan ada enam modul dasar yang wajib di ambil. Jadi, untuk mengikuti program ini, Adhira mau tidak mau harus bersedia menetap selama satu tahun di Jerman.

Mengetahui bahwa ia harus menetap cukup lama di sana, Adhira merasa cukup berat hati untuk pergi, mengingat ia harus meninggalkan orang-orang yang ia sayangi untuk sementara waktu di Indonesia. Meskipun bisa saja mereka bertemu melalui sambungan panggilan video, atau dirinya sesekali pulang ke rumah ketika mempunyai waktu senggang, namun rasanya tentu tidak sama seperti jika ia bertemu orang-orang tersebut secara langsung.

Sambil membuang napas berat, Adhira merebahkan badannya di atas tempat tidur. Kalau saja, pikirnya. Kalau saja Mas Arian sudah dari lama memintaku menikahinya, mungkin aku nggak bakal sebingung ini, Adhira membatin mencari sesuatu untuk disalahkan. Padahal selama ini pun, kalau pun Arian melamarnya sedari lama, Adhira sadar bahwa dulu ia masih belum yakin dengan ide tentang pernikahan.

Ketika dirinya sedang sibuk menimbang-nimbang, ponselnya tiba-tiba bergetar dan menampilkan sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Adhira sedikit terkejut dan berdiri dari tidurnya. Ia meraih ponselnya tersebut dan menerima panggilannya.

"Halo, dengan siapa ini?" sapanya sejurus ia mengusap tombol hijau di layarnya.

Adhira terdiam sebentar ketika sebuah suara berat terdengar membalas sapaannya. Ia diam mendengarkan orang yang menghubunginya itu sambil mengangguk-angguk pelan dan memasang wajah yang cukup terkejut. Sepanjang panggilan tersebut ia tidak bisa menjawab lebih selain dari kata "iya" sebelum kemudian panggilan telepon itu ditutup oleh si penelepon.

Adhira meletakkan ponselnya sambil sedikit terdiam mematut pantulan dirinya yang terbayang pada cermin dengan tatapan kosong untuk beberapa saat, sebelum kemudian ia bangkit berdiri dan bersiap diri.

***

Adhira tidak pernah menyangka bahwa ia akan menginjakkan kakinya kembali di restoran ayahnya secepat ini, terlebih setelah kejadian kecelakaan yang menimpa Afif beberapa waktu lalu. Namun kali ini, alih-alih hendak bertemu Johan, Adhira diminta oleh seseorang untuk bertemu di tempat ini.

Adhira melangkahkan kakinya masuk ke dalam restoran ketika seorang pria berkemeja navy memintanya untuk mengikutinya dan membimbingnya pada sebuah meja. Dari pakaiannya saja, pria tersebut sudah jelas bukanlah seorang pegawai restoran ayahnya. Namun begitu, Adhira tetap mengangguk dan dengan patuhnya mengikuti langkah pria tersebut. Ketika dirinya melewati pintu ruang pegawai, matanya tidak sengaja bertemu dengan mata Johan yang menghadiahinya sebuah delikan bertanya.

"Selamat siang," ucap seorang pria paruh baya ketika Adhira diantarkan padanya oleh pria yang menyambutnya di pintu masuk restoran tadi. Adhira menatap wajah pria itu sambil mengangguk dan mengulas senyum.

Pria itu berbadan tinggi besar, cukup tegap dan gagah untuk seseorang berusia lebih dari setengah abad. Ia mengenakan kemeja santai bermotif yang dimasukkan rapi di balik celana khaki yang terlihat sangat serasi dengan sepatu kulit cokelatnya yang mengilap. Orang yang memiliki kelas punya gaya yang berbeda, pikir Adhira ketika itu sambil mengambil tempat di depan pria itu setelah dipersilakan.

"Apa kabar?" Tanya pria itu pada Adhira sambil menegakkan badannya yang semula bersandar pada kursi. Ia kemudian mengulurkan tangannya pada Adhira, meminta untuk disalami. "Saya, Bara."

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now