Sepuluh

517 55 3
                                    


Bayangan wajah umi berkelebat di depan mata. Rasa rindu seolah meremas kantung air mata. Ingin rasanya aku tumpahkan air mata ini di pelukannya. Ya Allah, berikan aku kesempatan untuk menjumpai wanita penuh kasih itu lagi.
Aku terus berlari. Tak menggubris panggilan nenek dan anaknya itu. Beberapa saat kemudian aku telah berada di kamar tempatku menginap. Dengan cekatan aku mengemasi barang-barang pribadiku. Aku harus pergi, entah kemana kaki ini harus kulangkahkan. Aku sudah tidak tahan berada di tempat ini. Dua orang ibu-anak itu tampak menyimpan banyak rahasia di hadapanku. Aku tak boleh lengah. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun yang gelap mata. Sebelum keadaan menjebakku disini aku harus lari. Aku yakin, pasti aku bisa menemukan sendiri arah jalanku pulang.
Sambil terus berkemas sesekali kutengok ke luar jendela. Kulihat langit dari celah jendela masih menampakkan mendung yang tebal, bahkan semakin lama semakin tampak menebal bergumpal-gumpal. Alam semakin murung.
"Kreeeek!" tiba-tiba terdengar suara pintu berderit. Dadaku berdesir takut. Aku semakin mempercepat tanganku memasukkan barang-barang ke dalam tas. Suara langkah kaki tertatih pelan bergerak semakin dekat menuju kamar. Tak berapa lama kemudian pintu kamar yang terbuat dari papan kayu kasar itu terbuka.
"Mau kemana Nduk? Kenapa mengemasi barang?" tanyanya dengan raut muka ditekuk.
Aku terdiam beberapa saat mencari jawaban.
"Kau akan aman di sini. Lagipula kamu tak tahu jalan kembali ke rumahmu bukan?" nenek itu kembali bertanya dan aku kembali tak memberinya jawab.
"Tak kasihan kau melihatku hidup sendiri begini?" tanyanya lagi. Tanganku serentak berhenti. Kulihat wajah keriput itu menampakkan kegelisahan.
"Aku harus pergi Nek. Terima kasih telah memberiku banyak pertolongan," ucapku pelan. Beberapa baju yang kupakai sejak kemarin telah masuk ke dalam tas. Nenek itu mendekat ke dipan tempatku duduk. Wanita yang telah menapaki masa tua itu tiba-tiba memegang kedua tanganku erat.
"kasihanilah anakku. Dia sangat terpukul oleh karena dihianati istrinya. Bersedialah menjadi istrinya Nduk," ucapnya sambil menangis. Aku mendadak bingung.
"Aku juga mengkhawatirkan nasibmu di luar sana. Lelakimu itu bisa saja berbuat jahat lagi padamu jika kamu keluar dari tempat ini. Di luar sana dunia semakin kejam," kata nenek itu sambil menatapku lekat.
"Maaf Nek. Aku juga punya kehidupan sendiri yang perlu kuurus. Ada masalah di rumah yang harus aku selesaikan," ucapku pelan-pelan.
"Iya. Memang tampak di wajahmu ada banyak masalah. Tapi tak akan semudah itu bagimu untuk keluar tempat ini," kata nenek itu menyiutkan nyaliku.
"Mana rumahmu?" tanyanya lagi. Tangan penuh keriput itu masih mencengkeram jemariku. Aku ragu untuk menjawab pertanyaannya. Mungkin sebaiknya aku diam saja. Tapi tiba-tiba genggaman tangannya semakin erat. Sorot matanya memaksaku untuk memberinya jawab.
"Talun. Blitar Nek," jawabku singkat.
Ibu Sukiman itu terdiam, entah apa yang sedang dipikirkannya.
"Aku pernah ke sana,"
Aku tak menyahut. Tanganku berusaha lepas dari cengkeramannya. Nenek itu malah menyeringai, menampakkan beberapa gigi yang masih setia menemani masa tuanya.
"Tahu kamu kediaman seorang Kyai di sana?" pertanyaan nenek itu menahan gerakanku.
"Kyai siapa?" tanyaku penasaran. Orang semacam nenek ini ternyata mengenal seorang kyai.
"Dulu di masa muda dia pernah kemari. Dia yang menjodohkan aku dengan ayahnya Sukiman. Dia seorang kyai yang baik," nenek itu memanjangkan perkataannya.
Aku telah berhasil melepaskan tangannya.
"Namanya Sujak," gumam nenek itu lirih. Tiba-tiba aku terkesiap dan memandang perempuan tua itu penuh penasaran.
"Kyai Sujak?" aku memastikan.
"Iya. Dia dulu pernah tinggal beberapa bulan di sini. Masih hidupkah dia?"
Tiba-tiba air mataku menetes mengingat nama itu. Setelah semua hal yang terjadi padaku, mengingat nama itu adalah sebuah kemalangan yang amat kusesali.
"Kenapa kau menangis Nduk?"
"Dia telah meninggal," kataku di tengah tangis yang tiba-tiba membuat sebak dadaku.
"Mungkin memang sudah saatnya. Kenapa kau menangisinya?"
"Tak bolehkah aku menangisi kepergian ayahku? Salahkah aku mengingatnya saat keadaanku seperti ini?"
"Kau anaknya? Sudah sebesar dan secantik ini? Sudah lama dia mati?"
Tangisanku menghentikan pertanyaannya. Kami akhirnya bernostalgia. Ternyata sepulang abah dari pondok dulu dia pernah merantau ke tempat ini. Ceritaperantauannya ini tak pernah kuketahui. Abah tak pernah cerita. Dan cerita-cerita tentang sosoknya di masa muda semakin membuat bertambah besar rasa rinduku pada abah, pada umi dan kampung halamanku. Ternyata nenek itu merasa sangat berhutang budi pada abah karena di usianya yang sudah cukup matang belum juga kunjung datang lelaki yang memperistrinya sampai kemudian abah mengenalkannya pada seorang lelaki. Setelah cukup lama bernostalgia dengan nenek itu akhirnya akupun diberitahunya arah jalan pulang.
"Hati-hatilah di jalan. Mungkin Sukiman masih akan mencarimu. Lewatlah jalan belakang. Aku akan menahannya untuk tidak mencarimu. Aku akan membantumu," pesan nenek.
"Terimakasih ya Nek. Aku juga berhutang balas budi padamu," ucapku.
Nenek itu mengangguk. Kulihat dia sesenggukan menahan tangis.
"Jangan lupa solat ya Nek," pesanku. Aku telah bersiap-siap untuk pergi.
"Iya Nduk. Mungkin hidupku tidak tenang karena aku sudah lama sekali tidak solat. Dulu Kyai Sujak sering berpesan untuk menjadikan solat dan bersabar sebagai sarana untuk menggapai pertolongan. Mungkin aku sudah terlalu lama melupakannya," nenek itu meratap.
Lewat jalan belakang rumah aku pergi meninggalkan nenek yang baik hati itu. Tertatit-tatih aku berjalan menyusuri jalan setapak yang dianjurkan oleh Si Nenek. Semak belukar menyergapku di tengah pagi yang berselimut mendung. Nyamuk-nyamuk menyerangku hampir di sepanjang perjalanan. Jalan setapak yang dikelilingi semak belukar itu pun becek dan licin. Beberapa kali aku sempat terpeleset.
Setelah melewati jalan setapak di tengah belantara pepohonan kini di hadapanku terhampar persawahan yang cukup luas. Di ujung sana kulihat ada aliran sungi yang memanjang dan meliuk-liuk. Mungkin itu sungai yang kemarin aku lewati, pikirku. Dengan harapan yang menyala-nyala di dada aku terus melanjutkan langkah. Semakin lama sungai itu semakin dekat. Memang benar, itu adalah sungai dimana Pak Rusli membawaku ke arah pondok kelabu itu. Ingatanku tentang lelaki itu membuatku geram sekaligus nelangsa. Bagaimana aku harus menuntutnya jika ancamannya seperti itu? Mendung-mendung gelisah mulai berarak di langit yang kelam. Sebentar kemudian rintik gerimis menitik membasahi bajuku. Air hujan membasahi muka dan membuat jalan di pematang sawah semakin licin.
Langkah tertatih itu akhirnya membawaku melintasi jembatan kayu yang sudah rapuh. Di bawah sana aliran sungai coklat kehitaman yang membawa lumpur mengalir deras. Saat seperti ini kehidupan dunia begitu memuakkan. Dunia memang tidak pantas terlalu dicintai. Ya Allah teguhkan imanku. Yakinkan aku bahwa apa yang kulalui ini hanya lintasan-lintasan kehidupan belaka, hanya jembatan yang menghubungkan ke alam akhirat yang kekal lagi abadi. Tak pantas jembatan yang panjangnya tak seberapa ini untuk terlalu diratapi. Pandanglah hamba-Mu ini kasih sayang agar hamba mampu melaluinya. Beri kekuatan untuk selalu ridha atas semua qadha dan qadar-Mu...
Dengan kondisi tubuh yang semakin lemas akhirnya sampai juga aku di pinggir jalan. Namun ternyata masalah tidak berhenti disini. Aku semakin bingung karena ternyata sinar matahari yang bersembunyi di balik mendung tebal semakin tenggelam di ufuk barat. Gerimis juga belum reda. Baju yang kukenakan telah basah kuyup. tubuhku mulai menggigil kedinginan. aku menutupi mukaku dengan masker yang masih tersisa di tasku. Beberapa sepeda motor lewat jalan raya di depanku tanpa kehendak untuk menolongku. Akhirnya aku melanjutkan perjalanan ke barat. Tubuhku semakin lemas. Baterai HP-ku telah habis sedari tadi. aroima kematian terasa semakin mendekat ke arahku. Dalam hati kulafadzkan istighfar. tragis sekali jika aku harus mati di tengah jalan dan saat guyuran hujan turun semakin deras seperti ini.
Setelah agak lama melangkah kulihat ada secercah cahaya di kejauhan. Aku semakin bersemangat untuk melangkahkan kaki. Kutahan-tahan agar tubuhku tidak roboh. Saat tubuhku semakin menggigil kedinginan di belakangku ada suara klakson mobil yang menyalak keras menerjang suara hujan. Sorot lampunya semakin dekat. Dan aku semakin gugup ketika mobil itu berjalan pelan di belakangku. Dan kekhawatiranku ternyata menjadi nyata. mobil itu berhenti, tepat di belakangku. Degup jantung menahan rasa takut kian berulah.
"Tunggu!" teriak orang itu ketika aku terus melangkah tak menggubris suara klakson. Aku mempercepat langkah.
"Tunggu!!" teriaknya lagi. Tenagaku sudah habis untuk berjalan. Tak mampu lagi untukku berlari. Orang itu kini sudah berdiri di depanku menahan langkahku yang tertatih-tatih.
Mataku terkesiap. Apakah mungkin mataku salah lihat? Apa perlunya dia lewat jalan ini di ujung senja disertai hujan pula? Apakah ini hanya halusinasiku belaka?
Sayup-sayup suara seruan adzan dari kejauhan tak juga menyadarkanku atas kebingungan ini. Nyatakah yang kulihat ini atau hanya perasaanku saja? Suara adzan di kejauhan semakin lantang memanggil-manggil. Dan kurasakan langkah kakiku mulai melayang-layang.
"Berhentilah! Aku tak bermaksud jahat padamu. Rumahmu mana? Kau bisa numpang mobilku ini biar kuantar pulang ke rumahmu. Kondisimu pasti tak memungkinkan untuk terus menyusuri jalan di tengah hujan yang lebat ini," ucapnya meyukinkan.
Pemuda itu memakai payung. Tubuhnya yang jangkung terus menelisik penampilanku, membuatku semakin kikuk. Kulihat sorot mata keteduhan di kedua bola matanya. Sayang sekali, tiba-tiba tubuhku kehilangan keseimbangan. Cahaya lampu mobil itu tak mampu menyinari tubuhnya. Alam telah tenggelam oleh kegelapan. Ada gulita di manapun arah mataku memandang. Alam semesta tiba-tiba terasa hampa di hadapanku yang kerdil ini.

Bersambung

Purworejo, 3 September 2019

Ruang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang