Empat

810 77 26
                                    

Pagi kian menjelang. Kokok ayam sudah terdengar bersahutan dari sudut-sudut desa. Dan langit yang kelam itu sesekali masih mengeluarkan suara bergemuruh. Hujan deras semalam juga belum kunjung reda.  Hawa dingin menyeruak, menusuk hulit, memeluk erat hamba-hamba yang diperbudak malas agar tidak sampai bersimpuh pada Tuhannya. Padahal ada romantisme yang luar biasa tatkala bisa menghadap Tuhan di sepertiga malam terakhir yang diiringi deraian hujan seperti ini.

Setelah solat malam aku tidak tidur lagi. Mata ini terasa pedas, mulut pun terus menguap, tapi tetap saja tidak bisa tidur.  Setelah solat tahajud biasanya aku tidur lagi, atau iktikaf di masjid sambil menunggu waktu subuh tiba.  Tapi pagi ini pikiranku benar-benar kemrusung. Aku sibuk menerka-nerka. Apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga  Gus Malik? Lalu, bagaimana pula aku harus bersikap? Ucapan Gus Malik tadi membuatku terus kepikiran, merenggut ketenangan. Sebatang rokok dan secangkir kopi panas menemaniku melawan sepi, menghalau suasana hati yang semrawut. Seorang Gus Malik yang alim dan bersifat arif saja bisa terombang-ambing oleh badai kehidupan yang menerpa biduk rumah tangganya. Lalu bagaimana dengan diriku yang bukan siapa-siapa dan tak tahu apa-apa ini? Mampukah aku menaklukkan kerasnya kehidupan ini? Pikiranku terus berselancar, dan semakin jauh menjelajah ruang-ruang kehidupan.

Di genggamanku ada kitab kecil tentang nadzam- nadzam imrithy. Aku berusaha untuk menjejalkannya ke dalam otak walau nuansa hati sedang kalut. Kuulangi menghafal dari bab mukadimah. Alhamdulillah, masih lumayan daya ingatku. Aku kemudian berhenti di salah satu bait nadzaman tentang ilmu nahwu karya Imam Syarofuddin Yahya Al-Imrithy itu.

اذ الفتى حسب اعتقاده رفع# وكل من لم يعتقد لم ينتفع

Bahwa seorang pemuda dianggap keberadaannya karena memiliki keyakinan yang kuat. Dan jikalau dia tidak memiliki keyakinan itu, maka apalah artinya menjadi seorang pemuda?

Lama aku merenungkan kalimat itu. Tanpa memiliki asa yang kuat, manusia bagaikan pakaikan kumal yang tak layak pakai, dibuang pun hanya akan menjadi sampah, merusak lingkungan. Ini adalah cambukan kecil yang mendera jiwaku. Bagaimana hidupku akan berarti jika aku sering putus asa dalam menggapai ilmu? Bagaimana bisa hidupku akan mendapatkan kemilau cahaya jika memandang masa depan saja aku sering ragu???

Dan pagi pun akhirnya benar-benar datang. Gus Malik memanggilku, kali ini beliau memanggilku dari teras rumah. Teriakannya mengagetkanku. Seumur-umur baru kali ini kudengar teriakannya sekencang ini. Aku segera berbegas.

"Makan dulu Kang," pintanya dengan suara lirih. Kujawab dengan segera melaksanakan perintahnya. Aku menuju ruang belakang untuk sarapan, padahal belum genap pukul tujuh. Kujejalkan nasi ke dalam mulut. Selesai makan aku bergegas menuju ruang tamu. Kulihat Bu Nyai Zainab sibuk menata barang bersama Ning Fiya. Gus Malik duduk memangku anaknya di kursi, wajahnya sangat nelangsa. Gus Nala terus menangis, seakan mengerti badai yang menghantam kehidupan orang tuanya.
"Sudah Nduk," ucap Bu Nyai dengan suara parau. Ning Fiya mengangguk takzim.

Istri Gus Malik itu kemudian lama memeluk mertuanya. Kulihat punggung wanita cantik itu bergetar hebat. Air mataku ikut meleleh. Beberapa saat kemudian mereka melepaskan pelukan. Ning Fiya berjalan menuju Gus Malik. Entah, adegan apa lagi yang akan terjadi. Aku menghirup nafas kuat-kuat untuk menetralkan ketegangan sekaligus mengusir sesak di dada.
"Nanti, yang akan merawat jenengan sinten Mas?" ucap Ning Fiya setelah lama berdiri memaku memandang Gus Nala yang kini mulai diam di pangkuan ayahnya.
"Aku akan baik-baik saja," jawab Gus Malik.
"Obatmu dari Puskesmas kemarin masih kusimpan di laci. Nanti jangan lupa diminum ya, jangan menungguku ngomel-ngomel seperti biasanya," lanjut Ning Fiya. Gus Malik tak menyahut. Ia mendekap erat anaknya.
"Pakaianmu sudah kurapikan semua, juga ada di laci. Nanti kalau kotor mintalah Kang Fans atau siapa untuk mencucinya," Ning Fiya terus bicara.
"Aku tahu," sahut Gus Malik. Bu Nyai melangkah keluar.

Ruang SunyiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang