📒 15 ✏ Dilan(da) Bimbang ✏

Mulai dari awal
                                    

"Kemarin tertarik satu Bang. Tapi kok biayanya mahal ya."

"Mana coba lihat." Kata Hafizh sambil memperhatikan gawai yang ada di tangan kanan Fatia. Sambil memperlihatkan semua yang telah di browsingnya. Hafizh melihat secara detail bagaimana dan apa yang membuatnya menyetujui Fatia untuk mengambil kuliah di sana.

Bukan menjadi masalah yang besar bagi Hafizh.

"Mengapa harus ini?" tanya Hafizh sambil mengerutkan keningnya. Butuh alasan yang tepat dari Fatia untuk memberikan persetujuannya.

"Akreditasi Fakultas A, tenaga pengajar juga siap bersaing dengan universitas negeri lainnya. Selain itu lokasinya juga tidak terlalu jauh dari outlet galery butik. Jadi memudahkan untukku, Bang." Jawab Fatia.

Sebenarnya mereka hanya berbincang biasa namun bahasa tubuh yang disampaikan menjadi luar biasa. Apalagi kegiatan sebelumnya yang membuat Indah greget untuk tidak mengganggu keduanya.

"Kirim ke bunda ah___", goda Indah. Ya hanya sekedar menggoda saja. Indah tahu bagaimana Hafizh tidak mungkin dia bertindak lebih daripada itu. Toh pintu ruangannya juga dibuka lebar. Selebar pintu hatinya yang dibuka untuk nama Fatia.

"Mbak Indah, I heard what you were talking about. So don't make me angry. We're discussing something very important now." Teriak Hafizh yang langsung disambut gelak tawa oleh Indah.

"Bang aku juga belum makan loh, boleh dong disuapin juga." Bercandaan yang sukses membuat Hafizh merah padam tapi akhirnya tersenyum kikuk kepada Fatia.

"Minta noh sama mas Adam." Suara Hafizh disambut dengan tawa malu Fatia yang kini telah menundukkan kepalanya.

Beberapa menit kemudian Hafizh benar-benar menyetujuinya dan meminta Fatia untuk mencari informasi lebih tentang universitas itu termasuk juga bagaimana pendaftarannya. Sementara Hafizh sendiri akan mempersiapkan pascasarjananya tanpa satu orangpun yang mengetahuinya.

Sebelum akhirnya mereka berpisah setelah Fatia membersihkan lunch box dari meja kerja Hafizh, Fatia kembali mengingatkan untuk menjenguk Aira di rumah sakit.

"Ok, nanti kita berempat kesana setelah butik tutup. Sampaikan kepada Widi dan mbak Indah."

Kembali ke aktivitas setelah keduanya berpisah. Hingga sore menjelang dan butik segera di tutup.

Bertemu di rumah sakit adalah keputusan bersama ketika Indah, Widi dan Fatia memilih untuk membawa kendaraan sendiri karena memudahkan mereka untuk sekalian pulang.

Disambut senyum hangat dari seorang laki-laki seusia pamannya. Hafizh menjabat tangan dengan erat.

"Mas Hafizh ya?"

"Iya, saya." Jawab Hafizh dengan sangat sopan.

"Saya Wildan, Abinya Aira." Dahulu sekali sepertinya memang Hafizh pernah bertemu dengan laki-laki yang kini berdiri tegak dihadapannya. Tapi dia tidak mengingat satupun. "Maaf jika Aira banyak merepotkan sampai harus pingsan di tempat PKLnya."

Hafizh tersenyum tipis dan mengatakan bahwa sudah kewajibannya sebagai manusia untuk saling tolong-menolong.

Berbicara banyak dengan ayahanda Aira membuatnya mengerti bagaimana kondisi fisik Aira yang sesungguhnya. Bukan untuk mengasihani namun dalam hati Hafizh salut dengan Aira yang begitu luar biasanya berjuang untuk kesembuhan dari penyakitnya.

"Maaf Om Wildan ini kan sebenarnya memiliki factory yang bergerak di bidang textile. Lalu mengapa Aira tidak melakukan praktek kerja di factory milik keluarga. Justru memilih untuk praktek di perusahaan saya yang kapasitannya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan milik keluarga Om Wildan?" tanya Hafizh.

KAULAH KAMUKU [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang