Ch. 08 : Satu Langkah Ke Depan!

1.4K 191 36
                                    

"Lalu bagaimana menurutmu? Jika kau memiliki guru yang merupakan seorang legenda? Apa kau takkan berguru padanya lagi?"

Aku tersenyum pada guru kemudian membalas, "jika pertanyaannya begitu, maka fakta akan ikut berubah, Guru. Murid memang mengatakan bahwa terlibat dalam kehidupan seorang 'legenda' adalah hal yang merepotkan, namun... Adalah suatu hal yang berbeda konteks jika menyangkut seseorang yang telah menjadi guruku.

"Walaupun murid baru berumur 10 tahun, setidaknya murid tahu cara membalas budi. Tidak. Jika memang murid memang telah masuk ke dalam kehidupan sang 'legenda' tidak ada penyesalan. Suatu kehormatan bisa belajar langsung dari seorang 'legenda'. Orang bodoh mana yang akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi murid langsung seorang legenda?

"Mungkin ada, namun satu hal yang pasti, orang itu bukanlah murid ini." jawabku sembari menatap guru dengan penuh makna.

Guru terlihat cukup terkejut, namun setelahnya ia tertawa kecil kemudian berkata, "kalau begitu jawabanmu... Untuk apa aku menyembunyikannya lagi?"

Seketika, sosok guru yang awalnya seperti seorang kakek-kakek ringkih berubah menjadi seorang pemuda berparas tampan dengan rambut hitam dan mata biru yang begitu indah dipandang.

"Inilah sosok asli gurumu, Keito. Mungkin kau mengenalku sebagai Tetua Shin, namun identitas asli ku adalah Kazemaki Shindaichi, dan Bibi Kairi yang menghilang itu... Adalah istriku, Kazemaki Kairi. Kami biasa disebut Yosha no nai Shinkai."

Aku tahu guru bukanlah orang biasa. Namun aku tak bisa menyangka hingga batas ini. Orang yang menjadi panutanku ternyata guruku?

"Yosha no nai... Shinkai?"

"Iya. Kau tahu kenapa aku memilihmu sebagai muridku?"

Aku menggeleng, kemudian guru tersenyum. "Matamu. Aku tahu, walaupun kau selalu diejek karena mata itu, kau harus mensyukuri anugrah yang Langit berikan padamu lewat mata itu.

"Kau tahu? Seorang Kazemaki yang memiliki warna mata biru menandakan bahwa Langit menandaimu sebagai salah satu ksatrianya. Biasanya, hanya keluarga utama yang memiliki mata itu. Itupun hanya beberapa. Dan kebanyakan dari mereka... Terlahir menjadi seorang legenda.

"Namun, kekuatan yang besar tak dapat selamanya ditampung oleh tubuh fana seorang manusia. Terlalu banyak keturunan dengan mata biru yang meninggal di umur muda. Kecuali aku, dan mungkin kau."

"Kenapa murid, guru?"

"Itu karena rambutmu. Saat lahir, rambutmu mungkin berwarna hitam, namun karena kekuatan mata itu, sebagian rambutmu memutih. Dan sisanya... Karena kau adalah satu-satunya bayi yang bertahan di saat peristiwa Luxhym Centralis, bukan?"

"Bagaimana... Guru tahu?"

"Itu rahasia!"

Aku terdiam kemudian tersenyum. "Guru, kata guru, Bibi Kairi itu Istri Guru, lantas dimana beliau sekarang?"

Guru hanya menjawab bahwa Bibi Kairi juga sedang mendidik murid langsungnya. Aku hanya mengangguk dan tanpa kusadari, sejak saat itu, tak ada lagi satupun rahasia antara aku dan Guru. Tentu saja kecuali tentang aku yang merupakan reinkarnasi dari seorang Artha Brawijaya.

Maaf guru, tapi kuputuskan untuk menyimpan ini sendiri hingga akhir hayatku. Karena bagiku, kehidupan lama hanyalah suatu mimpi indah yang bisa kuambil hikmahnya.

🔥🔥🔥

"Keito, tangkap!"

Guru terlihat melempar sebuah pedang. Dengan sigap aku menangkapnya. Uh. Sedikit berat.

"Pedang apa ini, Guru?"

"Judge Scale. Aku sudah menjanjikan pedang ini dulu padamu 'kan?"

"Tapi saya belum—"

"Teruslah berbohong dan aku akan menendang bokongmu seratus kali."

Aku terdiam dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Membohongi guru memang sangat sulit. Aku memang sudah menguasai Mortal Dragon Breaker dari dua tahun yang lalu, bahkan kali ini aku berusaha menembus Earth Dragon Breaker.

Pedang berwarna hijau kelam dengan hiasan batu zamrud di tengah gagangnya itu kuperhatikan dengan saksama. Benar-benar indah.

"Omong-omong, Keito. Sudah sampai mana kau memahami soal kekuatan rohmu?"

"Murid belum benar-benar paham. Setidaknya murid sudah mengerti satu-dua trik yang melibatkan teknik kekuatan roh."

"Seperti?"

"Sejak 4 tahun lalu, jika Teknik Penghancur Naga tidak dihitung... Murid sudah menguasai Tarian Feniks Api dan Raungan Naga Suci. Sedangkan untuk teknik sihir... Aku sudah menguasai mantra Pedang Cahaya dan Penyembuhan Instan."

Kulihat guru yang tengah menyesap teh menyemburkan teh tersebut keluar. Guru juga tersedak karenanya. Dengan sigap aku menuangkan air untuk ia minum.

"Guru baik-baik saja? Apakah pencapaian ku begitu mengecewakan guru? Maafkan aku karena tidak berlatih giat, guru." ucapku panik.

Guru melambaikan tangannya ke arahku. Aku melangkah mundur sembari memasang wajah khawatir.

"Aku bukan kecewa, aku tersedak karena terkejut dengan pencapaian teknik bertarung mengerikanmu dan berani-beraninya kau bilang tidak berlatih giat? Kau ingin membuat semua anak seumuranmu bunuh diri?"

"Er... Bukan begitu."

"Baiklah. Oh, kau bilang kau menguasai Tarian Feniks Api? Bukannya teknik itu diperuntukkan untuk perempuan?"

"Em... Murid punya dua alasan. Yang pertama, teknik ini termasuk ke dalam 10 teknik dasar yang melibatkan kekuatan roh, dan yang kedua adalah agar aku bisa mengajarkannya pada adikku kelak—jika dia memiliki kekuatan roh juga."

"Hooo... Niatmu bagus, tapi kusarankan untuk berhenti menggunakan teknik itu. Karena sekali kau menggunakannya, maka kau akan selalu hanya bisa menggunakan teknik pertempuran berjenis seperti itu."

"Lalu... Apakah guru memiliki rekomendasi teknik yang baik untuk murid asah?"

"Hm... Biar kuingat. Sembilan Gelombang Elemen. Karena kekuatan roh memungkinkan seseorang memakai beragam elemen, mungkin ini cocok untuk meningkatkan level kekuatan roh mu menjadi Spiritualis Dimensi Regular 3."

Guru menyentuh keningku dan memberikan cara menggunakan teknik tersebut. Aku tersenyum cerah dan mulai melatih teknik tersebut. Tentu saja teknik pertama yang aku coba adalah teknik Gelombang Cahaya, elemen yang sama dengan milikku.

Aku mengangkat tangan kananku, memgacungkan jari telunjuk, tengah, dan ibu jari, mengayunkannya secara vertikal dan horizontal, kemudian membuat lingkaran pembatas.

"Gelombang Cahaya, aktif!"

Boom!

Sebuah gelombang cahaya yang lumayan besar terhempas ke arah pohon, menyebabkan pohon tersebut terlempar beberapa ratus meter jauhnya. Aku tersenyum semringah dan berteriak kegirangan.

Namun sesaat setelahnya, tubuhku dilapisi oleh dua cahaya. Biru indigo dan putih. Guru yang melihatnya melebarkan mata tak percaya.

"Magus Regular 3 dan Spiritualis Dimensi Regular 5?" gumam guru takjub.

"Benarkah... Itu?" tanyaku ragu.

"Tak diragukan lagi kau memang seorang jenius, Ryuu! Aku turut senang dengan ini!"

Guru menepuk tangannya dan tersenyum semringah. "Kalau begitu, aku akan mengajakmu ke pusat pengambilan misi keluarga besok. Bagaimana?"

"Baiklah guru! Murid akan sangat menantikannya!"

Re : Overlord [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang