21• Sendu yang melagu

157 27 1
                                    

Mungkin ini adalah hari buruk yang terbaik dalam hidupku.

Apa sulit dimengerti? Sekiranya begitu, mau kuperjelas? Kurasa aku terbilang baik dalam meringkas cerita. Begini, singkatnya ini hari dimana langit biru kehilangan keangkuhan dan tak membakar apapun yang berada di bawahnya. Jadi aku berterimakasih kepada awan kumulus yang menggantung rendah dengan gumpalan kapas putih, menghalau teriknya sinar ultraviolet dibeberapa titik.

Ujian kenaikan kelas pada hari pertama terbilang lancar. Bagiku yang diujikan bukanlah jenis soal yang membutuhkan kemampuan pemikiran tingkat tinggi, hingga otakku hangus dan melubangi tengkorak. Mengerikan!

Untuk Julius dan Jenar, terimakasih karena rencana mereka aku bisa mengendarai sepedaku ke sekolah setelah sekian lama. Entah apa yang akan mereka lakukan, tapi jika menilik beberapa waktu ke belakang keduanya memang semakin intens berinteraksi.

Ucapan terimakasih yang kesekian, untuk jalanan beraspal sempit di tengah kebun pepaya dekat sekolah. Karena ia membiarkanku bertemu gadis dengan wajah sendu itu lagi, Scarlet. Terakhir kepada semesta karena telah mengizinkanku melihat binar dan kemerahan di pipi Scarlet. Rona merah muda lembut di wajah lugunya kembali memancar. Aku tidak begitu mengerti korelasinya, tapi pemandangan itu disukai olehku.

Beberapa waktu lalu Julius bilang Scarlet keluar dari ekstrakurikuler musik dan menangis. Sejak saat itu pula aku memutuskan untuk menemaninya melalui masa sulit itu. Dan sekarang malah jadi kebiasaan setiap jam istirahat. Sampai-sampai Bobi bilang aku jarang bermain uno dengannya lagi karena takut kalah.

Entahlah, tapi untuk Scarlet akan kulakukan apapun. Rasanya begitu.

"Enggak papa, kok. Ayah yang minta buat fokus belajar. Kalau nilaiku bagus, aku bisa lanjut kuliah seni." jawab gadis itu dengan senyum, saat kutanya.

"Kalau enggak?"

"Antara hukum sama akuntansi."

"Waduh."

Pasti perih, tapi gadis bertubuh kecil itu seolah tak mau memperlihatkan lukanya padaku. Ia tersenyum sembari mengatakannya. Sekiranya aku tahu, bagaimana perasaannya, meskipun tidak benar-benar tepat. Ingin sekali kurengkuh.

"Kapan-kapan nyanyi bareng ya." ajakku.

"Kamu bisa main musik?"

"Kan gue udah pernah bilang dulu anak band, masih gak percaya?"

"Iya-iya."

Ia tertawa, matanya menyipit dengan kerutan samar di kedua sisinya. Sebuah peralihan raut wajah yang hebat.

"Eh, ngomong-ngomong ini kayaknya rumahnya Pak Abu Bakar."

"Kok kamu tahu?"

"Ya siapa sih yang gak tahu. Kota kecil begini, gak susah buat tahu informasi dari orang nomor satu di kota ini."

Gadis itu tertawa, "Pak Abu Bakar itu ayahku."

Aku terperangah sejanak, "jadi selama ini teman main gue anaknya wali kota, tapi gue gak tahu?"

"Sekarang tahu, kan." ia tertawa tapi aku masih tidak menyangka.

"Tapi masa sih?"

"Kenapa juga aku bohong?"

"Masuk akal, gak ada gunanya juga bohongin gue."

Aku terdiam sesaat. Lalu gadis itu bertanya. "Kenapa?"

"Kok Pak Abu Bakar suka maksa-maksa? Keknya waktu pidato openminded parah."

Scarlet mengangkat bahu, ia bilang begitulah adanya si wali kota itu. Matahari hampir tenggelam lalu aku pamit tanpa mendapatkan tanggapan lebih atas suara singkat yang kulontarkan.

WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang