Sixteen 🍁

Mulai dari awal
                                    

"Mau es kelapa muda nggak?" Aku mengangguk.

"Cemilannya kamu mau apa? Kentang goreng? Atau kamu mau burger? Makanan kesukaan kamu kan burger, aku pesan burger aja ya." Aku mengangguk lagi. Sok-sokan dia mengingat makanan kesukaanku.

"Tanpa sayuran dan mayones 'kan? Masih sama seperti dulu?"

Awalnya aku sedikit speechless, ternyata Rean benar-benar masih mengingat tentangku. Tapi, sebelum semakin dalam, aku langsung menepisnya. Dia kan mau balas dendam padaku, wajar dong dia mengingat semua tentangku. Itu pasti sudah masuk dalam rencananya.

"Buat apa sih kita ke sini? Kalau mau nongkrong di cafe doang, dekat kampus juga banyak."

"Di sana rame banget, di sini kan enak, sepi. Aku butuh tempat yang sepi saat bareng kamu."

Otakku berpikir dengan cepat mendengar ucapan Rean tadi. Dia butuh tempat yang sepi saat bersamaku? Apa maksudnya coba? Apa jangan-jangan dia mau berbuat macam-macam padaku, ya?

"Kebiasaan." Rean menyentil pelan dahiku. Aku pura-pura mengeluh sakit, dan Rean langsung mengusap-usap dahiku dengan lembut. Buaya!

"Kamu kok nyentil aku, sih?"

"Aku tau, kamu tadi pasti berpikir yang aneh-aneh 'kan?"

Rean sekarang bukan alien lagi? Dia berubah jadi cenayang? Kenapa dia bisa tau aku berpikir yang aneh-aneh?

"Enggak kok," jawabku bohong. Nggak mungkin aja aku bilang iya dan mengatakan segala macam pikiranku kepada Rean kan? Yang ada dia malah benar-benar melakukan yang tidak-tidak lagi ke aku.

"Otak kamu tuh, ya, suka banget mikir aneh," kata Rean sambil mengacak rambutku.

Sudah berapa kali rambutku diacak oleh laki-laki? Lebih dari dua kali mungkin, tapi efek dari acakan Rean sangat luar biasa. Sekarang aku tau rasanya rambut yang diacak, hati yang berantakan.

"Aku ngajak kamu kemari, buat ngasih tau planning aku ke depannya," katanya menggenggam tanganku. Nah kan, dalam sehari ini saja Rean sudah dua kali menggengam tanganku biasanya tidak pernah begitu. Memang Rean ini buaya alien.

"Planning apa?"

"Aku mau buka usaha, coffee shop."

"Coffee shop? Mau buka di mana? Kapan mau dibuka? Uda riset lokasi belum? Masalah menu gimana? Kamu beneran uda paham masalah kopi? Dan kamu benaran uda yakin mau buka usaha ini?"

Rean tertawa kecil, entah apa yang ditertawakannya pun aku tak tau. Tapi sekali lagi, dia mengacak rambutku, astaga ! Aku bisa gila kalau begini. Tahan Synda ! Itu semua hanya acting.

"Ini alasan aku ngajak kamu ngobrol di sini. Dari dulu kami nggak berubah, kalau bertanya pasti banyak banget gitu. Satu-satu dong, Sayang."

Ah, entah mengapa suara Rean mengucapkan 'Sayang' sangat merdu di telingaku hari ini. Kalau begini terus, bisa-bisa aku jatuh cinta sampai mati sama dia.

Aku hanya tersenyum, ingin mengatakan 'Iya, Sayang,' tapi ku tahan.

"Aku uda yakin, yakin banget malah. Aku mau mulai buka usaha kecil dari sekarang, agar nanti setelah tamat kuliah aku sudah punya jaminan buat nikahin kamu. Masalah riset tempat, belum, sih. Aku mau ngajak kamu buat riset tempat bareng, aku butuh pendapat kamu. Kalau aku uda paham kopi atau belum, pemahamanku masih sedikit sebenarnya. Tapi, itu bukan jadi penghalang buat aku buka usaha 'kan?"

Aku terdiam, memasang wajah polos yang sedikit kelihatan bego mungkin. Rean mengatakan semua rencananya padaku. Dan hebatnya dia selalu menyelipkan namaku disetiap rencananya.

COME BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang