Part Ten

424 178 136
                                    

Laptop dan beberapa lembar kertas berserakan di tempat tidurku, aku sedang menyusun pertanyaan yang cocok untuk wawancara besok, kemudian mengetiknya dan diprint serapi mungkin.

Sampah bekas cemilanku pun masih berserakan dilantai bahkan aku belum sempat mandi sejak pulang kerja tadi. Ribet sekali memang mengatur waktu antara mencari uang dan ilmu secara bersamaan.

Getaran ponsel di atas tempat tidurku menarik perhatianku. Kulihat notifikasi dan seketika bibirku melengkung indah. Oh ya tentu, pesan yang kubaca ini berasal dari Rean, laki-laki yang sudah menjadi pacarku.

Rean

Malam sayang

Masadepanmu

Too Baby

Rean

Uda makan malam?

Aku mendengus kesal. Kami bukan anak SMP atau SMA lagi kan? Apa masih wajar dia menanyakan aku sudah makan apa belum? Ya, aku tau aku selalu lupa makan kalau sedang sibuk, tapi gak mungkin sampai gak makan kan?

Masadepanmu

Uda beb

Rean

Good. Malam ini aku izin keluar bareng teman ya, main game. Kamu jangan tidur kemalaman. Goodnight Syndaku.

Selalu begini. Mungkin sudah hampir dua minggu hubungan kami, tapi Rean mengabariku hanya untuk bertanya aku sudah makan apa belum, kemudian meminta izin berkumpul bersama temannya. Dia tidak pernah perduli, bahkan tidak pernah bertanya apa saja kegiatanku satu hari ini.

Apa dia beneran masih mencintaiku? Apa dia mengajakku menjalin hubungan lagi benar-benar karena masih menyukaiku? Semua pertanyaan ini sering melintas di kepalaku.

Bukan maksudku membandingkan, tapi dulu-saat bersama Azam, laki-laki itu selalu bertanya apa saja kegiatanku, bagaimana perasaanku, dan mendengarkan segala keluh kesahku. Jujur, aku sedikit merindukan perhatian itu, dan aku berharap setidaknya Rean memberikannya.

***

"Jadi gimana Syn?" tanya Hikmah.

Seperti kesepakatan kami kemarin, aku dan kelompokku akan melakukan observasi hari ini. Tapi, kami kekurangan kendaraan, Niaz membawa kereta dan aku menyuruhnya berboncengan dengan Ana, karena Ana tidak membawa mobil hari ini. Sedangkan Hikmah berboncengan dengan pacarnya yang berasal dari fakultas lain. Hanya aku yang tidak memiliki boncengan, pacarku sibuk yang aku sendiri pun tak tau apa kesibukannya, bahkan sampai sekarang aku gak tau Rean itu bekerja atau kuliah. Bego sekali aku kan?

Tempat obsrvasi kami kali ini sedikit jauh dari kampusku, jika aku, Ana, dan Niaz berboncengan di satu kereta bukankah kami terlihat seperti cabe-cabean? Jika aku ikut berboncengan di keretanya pacar Hikmah itu lebih gak mungkin lagi, sih. Masa iya aku harus nebeng sama orang yang sedang kasmaran.

Aku berpikir seraya mengingat laki-laki mana yang mau memberi tumpangannya padaku dengan sukarela, dan aku teringat akan sosok Niawan-si lelaki baik itu. Bodo amat kalau para ceriwis yang suka gosip itu membuatku menjadi bahan gosipan mereka, yang terpenting sekarang aku sampai di tempat observasi.

"Kalian duluan aja, deh. Uda tau alamatnya 'kan?" tanyaku.

Niaz mengangguk. "Ada pacarnya Hikmah juga nanti yang bisa nunjukin jalan. Kau berangkat sama siapa?"

"Sama Niawan, ini lagi ngirim pesan ke dia," jawabku---kutekan tombol kirim pada Niawan.

Ketiga temanku langsung pergi menuju tempat observasi, meninggalkan aku sendiri menunggu Niawan. Aku membuka WhatsApp berharap ada pesan yang dikirimkan Rean, tapi tidak ada. Kulihat jam, sudah pukul 12 siang, jika dia bekerja harusnya dia sedang istirahat, jika dia kuliah harusnya sudah pulang, dan jika dia pengangguran harusnya dia punya lebih banyak waktu untuk sekedar mengirim pesan padaku 'kan? Tapi mengapa dia tidak mengirimiku pesan?

COME BACKWhere stories live. Discover now