Part Eight

503 203 159
                                    

"Uda lama?" tanya Rean yang baru saja sampai.

Aku tersenyum semanis mungkin. "Baru aja kok."

Aku sudah memikirkan semua yang akan kubahas dengan Rean hari ini. Berkat petuah yang jarang diberikan Ana padaku, aku langsung memiliki percaya diri dan langsung menghubungi Rean.

"Aku kaget waktu kamu nelpon, aku kira setelah malam kemarin kamu gak mau aku ganggu lagi."

Aku hanya bisa tersenyum mendengar penuturan Rean. Aku sendiripun kaget dengan keberanian yang aku miliki. Tiba-tiba menghubungi mantan pacar dan mengatakan aku sudah putus dengan pacarku, kemudian menanyakan hal yang aneh tentang kemungkinan kami akan kembali, dan sekarang aku mengajaknya bertemu. Kamu hebat Synda.

Rean memanggil salah satu waiters, memesan minuman dan cemilan untuk kami berdua.

Aku menatap Rean yang masih asik dengan ponselnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk membahas semuanya. Kalau pun Rean tidak mengajakku mengulang kisah kami yang dulu sempat tertunda, aku tidak menyesal. Setidaknya aku sudah mengatakan yang aku rasakan dan aku mendapat jawaban langsung dari Rean.

"Aku mau bahas masalah semalam." Rean langsung menatapku dan meletakkan ponselnya di saku celana.

"Setelah jawaban dan penjelasan kamu semalam, aku masih bingung. Aku mencari tau apa maksud semuanya, aku mencari tau apa kesimpulannya, tapi nggak ketemu. Kenapa kamu nggak bisa move on dari aku yang jelas-jelas uda nyakitin kamu? Kenapa kamu masih mencari tau tentang aku, yang mungkin bakalan buat kamu sakit hati karena ngeliat aku bahagia sama laki-laki lain? Kenapa kamu harus lakuin itu semua?"

Rean melipat tangannya di depan dada. "Kamu kuliah uda semester berapa?"

Aku memasang wajah bodohku. Apa aku tak salah dengar? Laki-laki ini menanyakan aku sudah semester berapa setelah pertanyaan beruntun yang aku berikan tentang kejelasan hubungan kami? Seseorang tolong berikan alat pendengar yang paling bagus di dunia untukku. Aku tak percaya Rean bisa menanyakan itu di waktu seperti ini.

"Seriosly? Kamu menanyakan aku semester berapa disaat seperti ini?"

Rean mengangguk. Aku menarik napasku untuk meredahkan emosi yang hampir meledak, "semester empat."

"Bukannya harusnya semester enam?"

Astaga. Dia benar-benar membahas masalah aku semester berapa sekarang.

"Aku telat satu tahun, aku memilih berkerja terlebih dahulu untuk mencari pengalaman."

"Sudah semester empat, umur juga uda bukan anak SMP, dan pengalaman sudah banyak."

Aku makin tidak mengerti apa tujuan laki-laki ini sebenarnya. Apa salah aku bekerja dahulu kemudian kuliah? Apa salah umurku bukan umur anak SMP lagi? Apa salah aku memiliki pengalaman yang banyak? Benar yang dikatakan Ana, Rean ini alien!

"Aku nggak paham kamu bahas apa."

"Harusnya kamu uda bisa memahami apa yang aku katakan semalam."

"Ha?" Aku semakin tak mengerti.

"Kamu masih menanyakan kenapa aku nggak bisa move on? Kenapa aku nyari tau tentang kamu walaupun itu buat aku sakit? Kamu masih menanyakan itu semua? Kurang jelas apalagi? Kalau bukan karena aku masih sayang sama kamu. Laki-laki mana yang tahan ngeliat perempuan yang disukainya ketawa bareng laki-laki lain? Tapi aku tetap lakuin itu demi tau keadaan kamu, demi tau kegiatan kamu, demi tau kamu masih ada di bumi yang sama kayak aku."

Hey! Dia bilang apa? Demi tau aku masih ada di bumi yang sama kayak dia? Dia pikir aku alien atau semacamnya apa? Kalau dia sih iya, jelas-jelas alien!

Aku tersenyum. "Bahkan orang yang ketawa 'Haha" aja belum tentu dia merasa ada suatu hal yang lucu, bisa aja dia cuma menghargai. Kalau masalah kamu nyari tau tentang aku, itu nggak sepenuhnya bisa dikatakan belum move on, bisa aja kamu cuma penasaran kan? Ngerasain penasaran bukan berarti masih sayang 'kan?" Aku menaikan satu alisku---ala-ala perempuan songong yang sering kubaca di novel.

COME BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang