"Syn, meja delapan nyariin kau tuh." Aku menoleh saat Cinta masuk ke ruangan ganti khusus karyawan.

Aku berjalan menuju meja delapan begitu selesai merapikan bajuku tadi. Seorang laki-laki lagi, aku bingung kenapa laki-laki yang mencariku selalu duduk di meja delapan? Ada apa dengan meja delapan itu? Heran.

"Permisi, Mas," ucapku sambil tersenyum ramah dan sedikit membungkukan badan. Peraturan baru yang diberikan Mbak Kamila kalau kami harus membungkukan badan sedikit saat mengantarkan menu kepada customer.

"Manis banget senyumnya, Dek. Diabetes langsung Abang," kata customer ini yang kukenali suaranya laki-laki.

Aku mengangkat wajahku dan ternyata laki-laki yang mencariku tadi adalah Niawan. Entah angin apa yang membawanya tiba-tiba mendatangi tempat kerjaku.

"Ngapain kau di sini?"

"Makan lah, ini kan cafe. Pertanyaanmu nggak ada yang lebih bagus gitu?"

"Biasanya kan nggak makan di sini."

"Aku kangen samamu, makanya makan di sini. Berdosa nggak nih, kangeni pacar orang?"

Aku memasang wajah galakku. Niawan ini lagi terkena sakit apa? Kenapa dia tiba-tiba seperti ini? Apa sawan babinya kambuh? Padahal tadi pagi dia masih baik-baik saja.

"Bercanda, Bu," katanya lagi sambil terkekeh kecil. Niawan membolak-balikan buku menu dan menyebutkan beberapa snack beserta minuman yang akan dipesannya.

"Oh ya, ada tambahan," katanya saat aku mulai berjalan menuju meja computer untuk menginput pesanannya.

"Apa?"

"Kau."

"Ha?"

"Aku mau ngobrol bentar. Bisa ijin nggak ke managermu?"

Aku bingung. Kenapa Niawan harus datang kemari hanya untuk mengobrol denganku? Padahal tadi kami bertemu di kampus, kenapa tidak di kampus saja dia mengajakku mengobrol? Dan dia juga menyimpan nomerku 'kan? Dia bisa memberi pesan kalau hanya ingin sekedar mengobrol, aku juga pasti membalasnya.

Aku sudah kembali setelah dapat ijin dari Mbak Kamila. Aku meletakan seporsi nugget, kentang goreng, serta ice americano di depan Niawan.

"Ada apa, sih?" tanyaku tak sabaran.

"Penasaran banget ya, Say. Sabar dong."

"Say? Sayton maksudmu?"

"Sayang dong, masa cakep gini dibilang sayton, berdosa banget yang bilang gitu," kata Niawan tertawa kecil.

Aku semakin bingung. Laki-laki di depanku ini bukan seperti Niawan yang aku kenal. Apa dia kerasukan jin ya? Tapi mengapa malah mencariku? Apa aku ada salah dengan jinnya?

"Kau beneran Niawan?" tanyaku akhirnya.

Dia tersenyum, menyeruput ice americano yang ada di tangannya. "Jam empat nanti aku berangkat ke Malaysia."

"Ha? Ngapain?"

"Nyelesaiin masalah."

Aku tak mengerti. Masalah apa yang sedang dihadapi Niawan sampai dia harus ke Malaysia dan berubah jadi aneh begini? Apa dia utusan Pak Presiden sampai harus menyeselesaikan masalah di Malaysia?

"Masalah apa? Terus kapan pulang?"

Niawan terkekeh. "Belum juga berangkat, uda ditanyain kapan pulang. Kangen banget samaku?"

Aku melotot dan memukul lengannya dengan kuat. Kali aja dia langsung sadar dan kembali normal. Sungguh tingkah Niawan siang ini, sangat aneh menurutku.

"Empat hari mungkin, kalau bisa lebih cepat lagi. Do'ain aja, masalahku cepat kelarnya."

Aku mengangguk. Aku nggak tau masalah apa yang dihadapi Niawan, tapi melihat tingkahnya aneh seperti ini, aku merasa mungkin masalahnya sedikit besar.

"Ijinin aku ke dosen ya, kalau bisa buat hadir aja. Tau sendiri tiga kali absen nggak bisa ikut UAS entar." Aku mengangguk sebagai jawaban. Tanpa disuruhnya pun aku pasti mengijinkan Niawan ke dosen nanti.

"Aku pergi, ya." Niawan berdiri, mengulurkan tangannya mengelus puncak kepalaku. Aku terperangah, masalah apa yang dihadapi Niawan sampai membuat tangannya lancang menyentuh rambutku. Kalau saja aku tak ingat dia ini temanku dan sedang menghadapi masalah, sudah kupatahkan tangannya.

🍁🍁🍁

Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Padahal malam ini bukan malam minggu, tapi customer yang datang luar biasa banyaknya. Badanku pegal semuanya, terutama kakiku. Kalau cafe sudah ramai, kami harus buru-buru membawa pesanan ke meja customer. Ditambah sepatu sedikit tinggi membuatku susah berjalan dengan cepat tadi.

Getaran ponsel di saku celana membuatku sedikit terusik. Apa tidak bisa orang-orang membuatku istirahat sebentar saja?

"Halo," kataku tanpa melihat siapa yang menelepon. Mataku sangat berat rasanya untuk dibuka walaupun sebentar saja.

"Aku di depan kos kamu, bukain pintu dong."

Aku mengenali suara itu, siapa lagi kalau bukan Rean. Aku menegakkan tubuh, sedikit merapikan rambutku.

Makin hari sikap Rean semakin aneh saja menurutku. Dia sering datang secara tiba-tiba dan membawakan makanan untukku. Bukannya aku tidak senang, pastinya aku sangat senang kalau sudah menyangkut makanan gratis. Tapi, ini Rean. Laki-laki datar yang dijuluki alien oleh temanku. Sangat aneh rasanya Rean bisa berubah manis seperti ini, bahkan tanpa aku beritahu.

Padahal awalnya dia berkata untuk mengajarkannya menjadi pacar yang baik. Tapi sekarang lihat lah, tanpa kuberitahu dia sudah bersikap manis padaku, bahkan sangat manis.

Dia berubah menjadi laki-laki paling peka yang aku kenal. Dan isi kepalaku semakin mengatakan kalau ini semua adalah rencana Rean untuk membalas dendam. Dia sengaja membuatku terbuai dengan semua sikap manisnya, setelah aku terbuai dan terbiasa dengan itu, dia akan meninggalkanku begitu saja. Aku yakin itu.

"Aku rindu kamu." Rean memelukku dari belakang saat aku menyediakan makanan untuk kami berdua.

"Kita tiap hari ketemu, Re. Kamu setiap malam datang kemari 'kan?" tanyaku memastikan. Kali aja selama ini yang datang hantu yang menyerupai Rean.

Rean melepaskan pelukannya, membalikan badanku untuk menghadapnya dan menatapku dengan tatapan tak suka. "Jadi kalau ketemu setiap hari aku nggak boleh rindu kamu?"

Aneh sekali kan pertanyaannya? Kalau ketemu setiap hari untuk apa rindu coba? Rindu itu muncul kalau kita sudah lama tidak melihat seseorang. Lah, ini dia melihatku setiap hari, harusnya bosan dong. Apa maksudnya rindu itu bosan, ya?

Dasar alien buaya.

Aku tersenyum kemudian memeluknya. "Boleh kok, apa yang nggak buat kamu."

Rean membalas pelukanku dan mencium puncak kepalaku. Manis sekali perlakuannya.

Seperti biasa Rean mencuci piring dan aku membersihkan meja makanan kami. Sudah seperti keluarga bahagia bukan? Tapi kami belum berkeluarga. Aku juga belum siap untuk itu, umurku kan masih 22, aku masih ingin bebas berkelana ke sana kemari menikmati hidup.

Rean duduk di sampingku, memelukku dan menenggelamkan wajahnya di celuruk leherku. Aku bangsa orang yang gelian, langsung mengangkat lehernya. "Geli, " kataku.

Rean tersenyum kemudian mengecup singkat bibirku. Tapi kecupan itu langsung berubah menjadi ciuman yang menurutku sangat ehem .. manis. Awalnya aku ingin menolak, tapi tubuhku menghianatiku. Ciuman yang diberikan Rean membuatku meleleh seperti lilin yang dibakar api. Akhirnya aku membalas ciuman itu dan memperdalam ciuman kami. Sialan !

Gimana Part ini?

Jangan lupa votement

Aku butuh krisar dari kalian ❤️

Peluk jauh ❤️

Rsswp_
Follow ig : @itsrss__

COME BACKWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu