Vigo

8K 652 29
                                    

Good reading 😊
.
.
.

"Dimarahin, nggak?" Dafa langsung bertanya waktu Lisa keluar dari ruangan Kendra.

Lisa masih menunduk, memainkan jari-jarinya. Aku dan Widi saling berpandangan, sedangkan Dafa menunggu jawaban teman kami itu dengan tidak sabar. Kami memang khawatir, karena entah bagaimana ceritanya Lisa bisa salah menginput data dan baru menyadarinya lima menit sebelum Kendra memanggil.

Aku juga belum bisa memastikan apakah hari ini si bos dalam mode Lucifer atau Angel. Dia belum keluar ruangan sesiang ini karena memang tidak ada jadwal meeting. Aku sendiri berbicara dengan dia cuma waktu mengantarkan kopi, dan setelahnya aku duduk di kubikel mengerjakan seabrek tugas darinya yang harus selesai hari ini juga.

"Lis!" Dafa berdecak gusar.

Lisa mengangkat kepala. Ekspresinya kelihatan agak murung.

"Diomelin?" tanyaku.

Tiba-tiba, tanpa kami duga, Lisa tertawa dan menyengir bodoh. "Pak Ken bilang gini coba, 'ya sudah, cepat revisi lagi. Selesaikan sebelum meeting besok'. Gitu. Sama sekali nggak ada kandungan bon cabe, guys."

Dafa ber-wooh sambil melempari Lisa dengan gumpalan-gumpalan tisu. Widi mendengus keras lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Aku kira si bos marah-marah. Dimaki, minimal. Muka kamu mendukung banget buat ekspresi orang teraniaya!" gerutu Dafa kesal.

Aku mengangguk setuju. "Kemarin kan Pak Ken masih jadi Lucifer. Jadi harusnya wajar kalau kamu dimarahin."

Lisa hanya terkekeh. Dia duduk dan mengotak-atik komputernya. "Ini hari Jumat. Ya masa doi mau jadi Lucifer full weekdays? Udah saatnya nunjukin Angelnya."

Aku mencebikkan bibir. "Sama sekali nggak ditegur kayak pas negur aku lima hari ini?"

Lisa menggeleng senang. "Manis banget nggak, sih?"

"Manis di kamu!" balasku senewen.

Aku masih agak kecewa pada Kendra. Kupikir, setelah makan malam di rumahku waktu itu, kalimat pedasnya saat menegur di kantor akan berkurang. Tapi nyatanya malah makin parah. Iya sih, aku juga salah karena melakukan beberapa kesalahan waktu mengerjakan perintahnya. Tapi apa nggak bisa lembut sedikit? Dia apa nggak bisa tetap jadi sebaik Om Aa walaupun di kantor? Ini namanya bukan profesional lagi, tapi over profesional!

"Ariana."

Punggungku otomatis menegak. Lisa menyengir. Dafa menunjuk pintu ruangan Kendra dengan dagu. Aku menghela napas, bangkit, lalu masuk ke ruangan itu setelah sebelumnya mengetuk pintu.

"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanyaku setelah berdiri di depan mejanya.

Kendra mendongak, menatapku intens, sebelum mengulurkan gawai miliknya ke arahku. Keningku berkerut bingung.

"HP Bapak kenapa?"

Kendra menaikkan sudut bibirnya, menggeleng samar. "Sepuluh menit lagi jam makan siang. Pakai HP saya untuk memesan makan siang."

Aku ber-oh sambil menerima gawainya. "Bapak mau dipesankan apa?"

Kendra kembali menggeleng. "Bukan hanya saya, tapi kalian juga."

Mataku mengerjap. "Maksud Bapak ... saya dan teman-teman?"

Kendra mengangguk. Kini dia kembali menekuri layar laptopnya.

Wooh keren! Aku tak bisa menahan senyum sumringah. "Pesan apa, Pak?"

"Terserah kalian."

Senyumku melebar. "Kalau begitu saya tanya mereka dulu ya, Pak."

Ineffable Cafune (Pindah ke Dreame)Where stories live. Discover now