Insiden

7.9K 685 51
                                    

Good reading 😊
.
.
.

"Makanya kalau dibilangin orang tua itu, nurut."

Itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan Om Iqbal begitu aku selesai bercerita. Juga setelah puas tertawa mengolokku bersama anak laki-lakinya itu.

Tadi setelah Kendra mengijinkanku pulang-yang mana itu lewat dua jam dari jam pulang-, Gio menelepon dan memberitahu kalau dia akan menjemputku. Katanya, Tante Dewi dan Om Iqbal sudah menungguku di toko. Tentu saja untuk mendengarkan ceritaku tentang 'hari pertama masuk kerja'. Seperti dulu-dulu ketika aku juga harus menceritakan pengalaman hari pertama SMA dan kuliah.

Mereka memang punya sebuah ritual tak tertulis di mana setiap salah satu anak menjalani :hari pertama', maka pengalaman itu harus diceritakan sedetail-detailnya. Peraturan itu juga berlaku bagiku, kendati aku hanya merupakan anak asuh.

"Sok-sokan nggak mau dibantu, ujung-ujungnya nemplok ke Om Aa juga, kan?"

Aku melayangkan tatapan tajam pada Gio yang barusan menimpali komentar ayahnya sambil santai mengemil permen yupi milik Nara. Gadis cilik itu langsung memukul lengan kakak tidak tahu dirinya.

"Ana mana tahu kalau GM tuh kantornya Om Aa. Lagian Om Iqbal nggak ngasih tahu juga waktu itu."

"Ya kamu nggak nanya," balas Om Iqbal dengan santainya, sambil bersandar di pundak istrinya. Masih saja bertingkah kayak pengantin muda. Dasar!

"Kamu juga kemarin nggak bilang kan kalau tanda tangan kontrak di sana?" sahut Tante Dewi sambil terkekeh.

Aku cemberut. "Lupa."

"Ya udah sih. Malahan Om sama Tante jadi tenang, kamu kerjanya di tempat yang tepat. Padahal harusnya lebih tepat lagi kalau di tempat Om."

"Kan nggak mau nepotisme," balasku.

Sejak bulan pertamaku jadi pengangguran, aku memang sudah ditawari bekerja tanpa susah payah mengikuti tes atau semacamnya. Bukan saja di tempat Om Iqbal, tapi juga di tempat Om Galang. Dan bahkan Om Galang katanya berhasil memaksa Kendra memberikanku posisi karena di kantornya sedang banyak lowongan. Tapi aku menolak keras-keras dengan alasan ingin berusaha sendiri.

"Nah, sekarang kan walaupun tetap di Om Aa, kamu dapetin itu dengan jujur dan kerja keras kayak yang lain." Tante Dewi mencubit pipiku. "Jadi nggak usah manyun lagi."

"Iya sih," gumamku.

"Om Aa juga profesional kan?"

Aku mengangguk. "Banget."

Gimana nggak profesional? Orang Kendra saja sudah tak terhitung menegurku saat mengulang kesalahan. Bahkan, dia menyuruhku ini itu hingga lembur layaknya perlakuan bos dan bawahan pada umumnya. Bukannya mengeluh, tapi ayolah ... hari ini bahkan hari pertamaku bekerja. Apa tidak ada pengecualian? Nggak wooh keren emang!

"Oh ya Kak," Gio tiba-tiba bangkit dari lantai dan duduk mendempet dengan satu lengan melingkari pundakku. "Muka Om Aa emang bonyok?"

Aku mengerutkan kening. "Kata siapa?"

"Rafa."

"Nggak bonyok, sih." Aku mengedikkan bahu. "Cuma patah hidungnya. Tadi aku lihat diplester gitu."

"Oh ya? Kok bisa?" Om Iqbal menatapku ingin tahu.

Aku menggeleng samar. "Nggak tahu."

Padahal tentu saja aku tahu alasannya. Apa lagi kalau bukan kejadian di mall malam itu? Aku jelas ingat, wanita itu memukuli Kendra bukan dengan pukulan lemah ala perempuan merajuk, tapi pukulan orang yang sudah terlatih bela diri macam Widya si gadis bar-bar yang sekarang sedang lembur itu.

Ineffable Cafune (Pindah ke Dreame)Where stories live. Discover now