Aku tau yang masih cinta banget di sini tuh aku, sama seperti masalah yang dulu, yang cinta banget itu aku meskipun yang ngajak menjalin hubungan itu Rean. Tapi, harusnya dia tetap menunjukan bagaimana sikap seorang pacar meskipun tidak terlalu mencintaiku 'kan? Sebentar, apa jangan-jangan dia mengajakku balikan karena ingin membalas dendam atas kesalahanku yang dulu?

Suara klakson mobil yang dipasang Niawan di keretanya menyadarkanku dari pikiran aneh yang mulai bermuculan di kepalaku ini. Aku berdiri-meminta helm kemudian memakainya dan naik di jok belakang kereta Niawan.

Selama perjalanan, Niawan terus-terusan bertanya bagaimana perkembangan hubunganku dan Rean. Ya, selain Ana, Niawan merupakan salah satu teman curhatku dan dia satu-satunya teman curhatku yang berjenis kelamin laki-laki.

Aku tipikal perempuan yang lebih mendengarkan saran dari orang saat menghadapi masalah. Maka dari itu aku butuh dua teman curhat, jika aku sudah memikirkan jalan keluar dari masalahku, aku tetap membutuhkan saran mereka. Karena aku akan memilih saran dengan suara terbanyak.

Aku menghela napas. "Aku bingung, Nia. Aku harus apa coba? Harus protes, kenapa dia nggak pernah memberiku kabar dan hanya sibuk dengan dunianya? Bisa-bisa dia menganggapku posesif nanti. Aku nggak suka itu."

"Kalau kau diam terus malah makin runyem entar. Kau sendiri yang cerita ke aku kalau pacarmu itu cueknya minta ampun 'kan? Bahkan kau juga bilang kalau kau pacar pertamanya dan dia tidak berpacaran dengan siapapun lagi setelah putus samamu kemarin. Iya 'kan?"

Aku mengangguk. "Aku dengarnya sih gitu, aku belum ada tanya ke dia. Gimana mau nanya coba, dia nggak ada waktu buat aku. Bahkan aku nggak tau dia tuh kerja, kuliah, atau pengangguran."

Niawan menggelengkan kepalanya, matanya masih menatap jalanan. "Ya, makanya kau harus ngobrol sama dia, coba minta waktu ketemu sesekali, jangan gengsian, deh. Biasanya kau perempuan yang nggak tau malu, kenapa sekarang sok gengsi-gengsian gini coba? Ingat kata Ana, pacarmu itu alien, jadi kau yang harus ngasih tau gimana seharusnya seorang pacar bersikap."

Aku berdecak kesal, enak saja dia mengatakan aku perempuan yang nggak tau malu.

"Dia uda dewasa, Nia. Uda berapa ya umurnya? Setahun lebih tua dari aku, deh, pokoknya. Harusnya dia tau gimana sikap pacar yang baik."

"Terserahmu aja, Nda. Kau yang tau terbaik, yang harus kau ingat pacarmu itu alien."

Ana dan Niawan ini adalah spesies teman yang mulutnya harus kujejelin cabe satu kilo.

***

Setelah pulang dari observasi tadi, aku langsung menuju tempat kerjaku. Aku tidak jadi mengambil off, karena Zaski ingin bertkar shif denganku. Benar-benar melelahkan. Aku berdiri di depan computer-menginput pesanan customer. Aku menoleh saat Catiya memanggilku.

"Kenapa?" tanyaku-mengoyak kertas print yang berisi pesanan customer

"Meja delapan manggil tuh," jawabnya. Aku mengernyitkan dahi-mengapa tidak dia saja yang mencatat pesanan customer di meja itu.

"Cutomernya bilang mau mesan cuma samamu," kata Catiya--lagi, seakan mengerti ekspresi bingung wajahku tadi.

Aku mengangguk kemudian berjalan menuju meja yang disebutkan Catiya tadi.

"Permisi," kataku sopan seraya meletakan dua buku menu di atas meja.

"Hai cantik." Aku menatap customer ini dan ternyata Ilwan.

Ya Ilwan, laki-laki yang tidak ada kabarnya setelah malam itu. Malam di mana aku mengatakan aku telah kembali bersama Rean. Sekarang Ilwan datang ke tempat kerjaku dengan senyuman well-sudah terlihat baik, tidak seperti senyumnya di malam itu.

COME BACKDonde viven las historias. Descúbrelo ahora