Papa
Y
Alenna
Papa pernah ketemu Arlan di rumah sakit, kan?
Papa
Y
Alenna
Papa tau tidak ya, kira-kira Arlan jenguk siapa?
Mengirim pesan seperti ini benar-benar terkesan seperti memata-matai (atau, ini memang memata-matai), cukup berisiko jika aku membuka pesan ini di dekat Arlan Pratama. Jantungku bisa bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya.
Dan aku harus segera pergi dari lorong ini, tentu saja. Kudatangi lorong stationary dan melihat Arlan Pratama sedang melihat-lihat jenis pena. Ah, iya, tujuan awal kami datang kemari hanya untuk membeli snack untuk nanti malam. Arlan Pratama ingin camilan setelah selesai belajar, dan kami malah berakhir di lorong yang berbeda, tadi.
"Lho, tidak jadi beli?" tanya Arlan Pratama ketika melihatku datang dengan tangan kosong. Memang dia yang membawa keranjang dan berbagi keranjang pasti adalah ide paling buruk, jika seandainya aku benar-benar butuh sesuatu yang agak pribadi.
Tidak berniat menjawab pertanyaannya yang satu itu, aku mengalihkan topik, "Kamu sudah beli semua keperluanmu?"
"Aku sudah," balasnya.
Kami pun ke kasir untuk membayar. Kuharap dia diam dan tidak pernah menanyakan soal apa yang tidak kubeli dan untungnya, dia memang diam saja.
Kami berjalan sampai di halte untuk menunggu bus. Ini sudah sore karena kami baru selesai try out dan pemantapan. Banyak teman-teman sekelas yang protes bahwa pemantapan seharusnya dihentikan selama try out berlangsung. Bukankah bagus kalau mereka langsung membahas soal yang diujikan ketika try out? Aku tidak mengerti pemikiran mereka.
"Nilai try out katanya akan diumumkan lusa."
Aku hanya menganggukan kepala, karena aku sudah tahu soal itu.
Diam dalam keheningan karena tidak ada topik apapun yang bisa dibicarakan, Arlan Pratama memilih memainkan ponselnya. Aku sebenarnya juga ingin memeriksa pesan Papa, tetapi orang yang sedang kubicarakan sedang duduk tepat di sampingku. Aku agak takut-takut juga untuk membukanya.
Saat hendak mengeluarkan ponselku, aku melihat sebuah mobil hitam di sudut jalan yang agak jauh dari gerbang sekolah. Kuperhatikan agak lama sambil memeriksa nomor polisi dengan angka cantik itu. Sepertinya itu memang mobil yang biasanya dinaiki Arlan Pratama.
"Arlan," panggilku sambil menunjuk mobil hitam itu.
Arlan Pratama langsung menoleh ke tempat aku menunjuk, lalu kembali menunduk menatap layar ponselnya. "Pura-pura tidak lihat saja," ucapnya tanpa merasa bersalah.
Aku menatapnya dengan wajah datar, "Terlambat. Mobilnya sudah jalan ke sini."
Arlan Pratama kembali menoleh ke mobil itu dengan tatapan datar. Mobil hitam itu mendekat dan itu membuat Arlan Pratama bangkit dari duduknya.
"Ayo, kamu tidak perlu tunggu bus. Biar diantar pulang sama mobil itu."
"Eh?" Aku mencerna kata-katanya satu persatu. "Kalau kamu punya keperluan, sebaiknya pergi saja. Aku tidak apa-apa naik bus sendirian."
"Aku juga balik, kok. Santai saja," balasnya tenang.
Dihampirinya mobil itu, membuat mobil itu menurunkan kaca jendelanya. Aku hanya mengikutinya dari belakang, karena aku hanyalah orang asing di sana.
"Tuan Muda, hari ini--"
"Uh, sore. Apakah bisa antar kami ke apartemen dulu?"
Aku mengerjapkan mata, baiklah, mungkin dia terlalu malas berbasa-basi.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Thirtieth Thread - "Fear is Something to Be Faced Of"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)