"Tapi, bagaimana dengan--"
Arlan Pratama memotong ucapanku, "Yang berbicara denganmu saat awal kepindahan? Tidak, dia bukan ibuku."
Kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat. Lebih berat daripada saat aku belajar tiga jam tanpa henti. Kuraih gelas berisi air putih yang selalu kusediakan saat belajar untuk menjaga agar aku tidak dehidrasi.
Bayanganku mengingat benang merah yang kulihat tidak tersambung, lalu mengingat setiap pembicaraan Arlan Pratama soal ibunya. Ibunya yang menuntutnya sempurna, yang selalu menelponnya, yang mengajarkannya menggunakan sumpit dengan keras. Itu yang mana?
"Aku bingung," ucapku sambil mengerutkan kening.
"Tidak perlu bingung," sahutnya sambil tersenyum, seolah itu hal yang lucu.
"Ternyata aku tidak tahu apa-apa tentang kamu. Padahal, kita tetangga," ujarku agak menyesal.
Arlan Pratama mengetuk-ngetukan tangannya di meja, "Santai saja. Biasa kalau di kota-kota besar, mereka bahkan tidak tahu wajah tetangga mereka."
"Kamu bicara seolah kamu pernah tinggal di kota besar. Atau, jangan-jangan kamu memang pernah?" tanyaku curiga. Ya, wajar aku bertanya, aku tidak tahu apa-apa tentangnya.
Arlan Pratama tidak menjawab pertanyaanku, hanya tertawa karena melihatku bingung.
Itu membuatku makin yakin, ada sesuatu yang salah dengan benang merah. Aku yakin akan ada seseorang yang lebih bisa mengerti dan memahami kondisi Arlan Pratama lebih cepat dibandingkanku. Benang merah ... seharusnya bisa mempertemukan Arlan Pratama kepada seseorang yang lebih baik lagi.
Aku ingin tahu, adakah kemungkinan benang merah berubah? Apakah ada benang yang berganti ujung? Apakah itu memang bisa terjadi? Karena kalau bisa, aku ingin berharap.
Orang-orang biasa yang tidak pernah memiliki kesempatan melihat benang merah, tentu saja tidak akan menemukan benang merahnya dengan mudah. Maksudku, ada sangat banyak manusia di bumi ini, semuanya berpencar di lokasi yang berbeda-beda, dan peluang menemukan satu dari sekian banyak sangatlah sulit.
Mungkin, jika itu bisa terjadi, Papa dan Mama bisa rujuk kembali dan aku tidak perlu mengkhawatirkan benang merah. Dan mungkin, Arlan Pratama bisa menemukan ujung lain yang lebih sempurna dan mengerti tentangnya. Aku akan turut bahagia untuknya.
"Setidaknya, kamu satu-satunya yang tahu keadaanku yang sebenarnya." Arlan Pratama lagi-lagi melemparkan senyumnya, seolah beban-beban hidupnya tidak pernah ada. "Entah kenapa, aku tidak bisa berbohong padamu."
Aku? Hanya bisa terdiam karena merasa dia seperti tengah membaca pikiranku. Aku tidak boleh terpaku dengan ucapannya. Sebagai teman yang baik, aku harus mendukungnya dalam keadaan apapun.
Setelah itu kami membahas soal seolah percakapan itu tidak pernah terjadi.
Sampai hari ini, aku tidak pernah mengerti eksistensi benang merah. Mengapa tidak semua orang bisa melihat itu? Dan mengapa harus aku? Mengapa tidak Rania, Fhea, Jingga, atau mungkin Sandra? Mengapa tidak mereka?
Kutarik napasku kuat-kuat, lalu melepaskannya. Baiknya, saatnya kembali ke dunia nyata. Aku masih di lorong khusus belanja keperluan wanita. Sebaiknya aku segera pergi dari sana.
Papa belum membalas pesanku walaupun aku sudah bolak-balik membuka pesan. Kubaca ulang pesan kami dalam hati.
Alenna
Pa.
Papa
Y
Alenna
Papa, Lenna boleh tanya sesuatu?
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Thirtieth Thread - "Fear is Something to Be Faced Of"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)