🍁🍁🍁

Sebelum berkuliah aku pernah bekerja selama setahun di tiga tempat yang berbeda. Pertama di salah satu hotel yang ada di Medan, bekerja sebagai marketing dan hanya bertahan dua hari. Kedua di salah satu restaurant sebagai Waiters yang bertahan selama enam bulan, dan yang ketiga di restaurant yang berbeda sebagai kasir, yang bertahan selama lima bulan dan mengharuskanku resign karena ingin fokus kuliah di semester awal.

Hal itu membuatku memiliki banyak teman dan kontak WhatsApp tentunya, walau hanya berfungsi sebagai penonton story.

Ilwan salah satu temanku dulu saat bekerja di hotel sebagai marketing. Kami dekat, sering bertukar kabar, makan bersama, nonton bersama, dan menghabiskan waktu bersama. Beberapa orang yang melihat kami selalu menyangka kami sepasang kekasih, padahal bukan seperti itu faktanya.

Bahkan Ilwan sering mengirimiku chat yang berisi gombalan, tapi tidak mempan bagi orang sepertiku. Walaupun aku sedikit geer, bukan berarti aku bisa langsung jatuh cinta. Setelah kejadian Azam , aku sedikit trauma untuk jatuh cinta. Tapi cintaku pada Rean tetap utuh. Bodoh sekali aku ini.

Sudah lebih dari 15 menit yang lalu, Ilwan duduk di teras kosku yang memang disediakan khusus untuk menunggu. Dia kan bukan pacarku, jadi sengaja aku suruh tunggu di sana. Kalau dia itu Rean pasti sudah kupersilahkan masuk dengan pintu yang terbuka lebar.

Kosku bukan kos khusus perempuan, kos ini termasuk kos yang bisa dikatakan sedikit bebas karena bisa membawa teman laki-laki ke dalam. Aku sering melihat temanku membawa teman laki-lakinya ke dalam kosnya. Namanya juga kos murah, kantongku hanya cukup menyewa kos seperti ini.

Aku keluar dengan pakaian serba hitam, akhir-akhir ini aku suka memakai pakaian warna gelap ini, aku merasa sedikit langsing. Malam ini Ilwan mengajakku untuk makan di luar, bukan di restaurant mewah, hanya nasi goreng kaki lima tapi rasanya melebihi restaurant bintang lima menurutku.

"Lama amat ganti baju doang," protes Ilwan setelah melihatku berdiri di depannya, "pakaianmu kenapa hitam semua gini, ada yang mati emang?" tanya Ilwan.

Aku menatap sinis ke arah Ilwan, apa memakai pakaian hitam seperti ini mengisyaratkan sedang berduka apa. "Ada, hatiku! Buruan deh, aku laper nih," jawabku dengan ketus.

"Giliran makanan aja cepat, coba masalah hati, pasti diem."

"Apa sih? Gaje banget kau Il."

Aku selalu merasa menjadi perempuan paling jahat di muka bumi ini kalau Ilwan sudah membahas perasaannya. Tapi, memang aku perempuan jahatkan? Perempuan yang dekat dengan laki-laki lain tapi tetap mencintai sang mantan.

Nasi goreng pesanan kami sudah tersaji, aromanya langsung masuk memenuhi indra penciumanku, dan tentunya membuatku semakin lapar. Cacing di perutku sudah meronta-ronta minta di isi mungkin.

Aku langsung melahap nasi goreng yang ada di depanku ini. Sungguh, makan nasi goreng panas dengan porsi banyak begini, rasanya sangat nikmat. Apalagi, kalau sedang kelaparan seperti aku ini.

Ilwan tersenyum melihatku, mungkin lebih tepatnya dia tertawa melihat perempuan rakus di sampingnya, tapi ditahannya. Aku dapat melihatnya dari ekor mataku.

"Pelan-pelan woy, nggak ada yang minta," kata Ilwan diiringi kekehan kecil.

Tuh kan dia sebenarnya menertawaiku!

"Aku lapar banget, tugas menumpuk, tadi di cafe juga rame bener pengunjung, jadi nggak sempat makan."

Ya, selain berkuliah aku juga bekerja di salah satu cafe dekat kampusku untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kedua orangtuaku bukan keturunan sultan yang bisa membuatku bergoyang kaki di rumah tapi uang mengalir terus di dompetku. Tanggungan mereka masih banyak, ketiga adikku masih bersekolah. Sudah syukur mereka masih mau membayar uang kuliahku, selebihnya biar aku yang cari sendiri.

COME BACKWhere stories live. Discover now