Part 7. Celana Baru

132 7 1
                                    

Dua hari berlalu ... begitu juga dengan Mas Rendra yang kini telah bekerja sebagai tukang ojek. Hasilnya berbeda sekali dengan menjadi kuli bangunan yang sudah pasti gajinya setiap bulan. Namun mau bagaimana lagi, semua kehendak Tuhan yang mengatur, aku yang menjadi hamba-Nya sekadar berusaha.

Dari hasil ojek yang tidak seberapa itu, hanya mampu untuk mencukupi makan sehari-hari saja. Sangat sulit untuk menabung demi masa depan anak yang tengah kukandung.

“Bajunya ibu-ibu ... bapak-bapak!” teriak tukang baju keliling.

Semenjak aku menikah, hampir dua bulan lamanya tak pernah aku dibelikan baju atau peralatan lainnya oleh Mas Rendra. Aku coba memaklumi sebagai tukang ojek pangkalan, kondisi keuangannya memang tak seberapa besar.

Aku bergegas mendengar teriakan itu, cepat-cepat memakai sandal jepit dan membuka pintu kontrakan. Melihat ke sekeliling, liar mencari tukang baju yang tadi memanggil. Beruntung, ia sedang duduk di depan kontrakan Mbak Marni, menjajakan dagangannya.

“Wah ... Mbak mau borong nih,” pujiku pada Mbak Marni yang sedang memilih model pakaian.

“Ayo, Mbak ... silakan dipilih,” kata pedagang tersebut saat melihatku berjalan ke arahnya.

“Gimana keadaan kandunganmu?” tanya Mbak Marni.

Aku tersenyum ke arahnya. “Baik-baik aja, Mbak.” Aku menolehkan pandanganku pada tukang pakaian keliling. “Ini berapaan, Pak?”

“Itu mah tujuh puluh aja.”

“Nggak bisa kurang, nih?” tawarku dengan harapan bisa menurunkan harga pakaian yang tengah kupegang.

“Ya sudah, lima puluh deh.” Nadanya seperti kecewa, namun aku tersenyum senang saat mendengar harganya turun drastis.

“Dicicil, bisa?” tanyaku lagi.

“Bisa kok, Mbak. Tenang aja. Tapi nanti bayarnya jangan nunggak, ya.” Pedagang itu memasang wajah melas. “Mbak tahu sendirilah, saya juga kan buat modal lagi. Untung dari dagang pakaian berapa, sih.”

Aku jadi tak tega untuk mengutang pakaian. Namun mau bagaimana lagi, toh aku tidak pegang uang sama sekali.

“Baik, Pak. Aku pilih yang ini sama yang itu.” Aku mengambil daster yang sedari tadi menggodaku, dan satu celana jin untuk mas Rendra. Semoga saja ia mau memakainya.

“Totalnya seratus lima puluh, ya, Mbak.” Ia mengeluarkan buku catatan dai balik kantong yang menempel pada perut. Kemudian menanyakan namaku.

“Siti Novela,” jawabku.

“Kamu beli itu aja, Nov?” tanya Mbak Marni melihatku.

“Iya, Mbak. Kasihan Mas Rendra celananya udah pada sobek-sobek.”

“Oh iya ... sekarang kerja di mana? Denger-denger udah putus kontrak?”

Aku tersenyum mendengar pertanyaan dari Mbak Marni. Aku tidak marah, aku tidak benci, hanya saja pertanyaan itu membuatku sakit hati saat setiap kali ada orang yang mengatakannya. “Iya, Mbak ... Mas Rendra sekarang kerja jadi tukang ojek.”

“Sabar, ya.” Mbak Marni mengusap pundakku sambil tersenyum. Lagi-lagi orang yang menyemangati saat aku bersedih atau membantu saat sedang kesusahan hanya tetangga. Mungkin itu pula yang sering orang-orang katakan kalau tetangga adalah saudara yang paling dekat.

“Makasih, ya, Mbak.” Aku tersenyum membalas perlakuan baik dari Mbak Marni. Kemudian aku kembali memasuki rumah.

Beberapa jam kemudian, suara motor tiba-tiba berhenti dari depan rumah. Bisa kupastikan itu Mas Rendra yang berhenti, sengaja pulang ke rumah dahulu untuk menyantap makan siang. Untung saja aku sudah masak sebelumnya, tinggal disajikan saja untuk sang suami tercinta.

Aku membuka daun pintu. Tanpa sengaja, ia pun membukanya, kami saling membuka sama-sama.

“Dek, mau ke mana?”

“Mau nyambut Mas pulang.”

“Memang tau dari mana kalau Mas pulang?”

“Kan kedengeran suara motornya. Toh siapa lagi yang punya motor di sini, paling banyak juga sepeda ontel buat bawa gabah,” jelasku, “Mas mau makan?”

“Iya, nih ... laper.”

“Eits ... sebelum Mas makan, aku punya hadiah untukmu.”

“Hadiah apaan?” Raut wajah Mas Rendra tiba-tiba saja berubah. Ia mengernyitkan keningnya, mungkin penasaran, atau mungkin juga ia sedang menduga-duga dalam pikirannya.

Aku segera meninggalkan Mas Rendra, memasuki ruang kamar dan mengambil celana jin yang sedari tadi aku rapikan. Beberapa detik kemudian aku kembali muncul ke hadapan mas Rendra membawa celana tersebut.

“Mas suka, kan?” tanyaku harap-harap cemas.

“Suka kok, Dek. Tapi—“ Ia tak melanjutkan perkataannya lagi.

Aku menunggunya hampir lama, namun Mas Rendra tak jua melanjutkan. “Tapi apa?”

“Uangnya dari mana kamu beli ini?” Nada Mas Rendra mulai meninggi, seolah ia tak suka dengan caraku. “Aku kan sekarang tidak kerja di bangunan lagi. Aku cuma tukang ojek yang—“ Lagi-lagi Mas Rendra berhenti, ia menggelengkan kepalanya.

“Yang apa, Mas? Yang apa?”

“Yang buat makan aja susah,” lanjutnya, “Kamu tolong mengerti keadaan suamimu sekarang. Jangan belikan aku apa-apa lagi, apalagi ini kan mahal.”

Aku tersentak mendengar perkataan Mas Rendra. Tak menyangka ia tidak suka dengan caraku yang membelikannya pakaian. Padahal, ini bisa diangsur, jadi tidak terlalu membebankan. Ingin rasanya menangis di hadapan Mas Rendra saat ini.

“Ya, Mas ...,” lirihku singkat menahan sesak di dada.

“Maafin Mas ... Mas gak bermaksud marah ke kamu.”

“Ya sudahlah, Mas, ini juga enggak bisa dikembalikan ke penjualnya.” Aku melemparkan celana jin ke hadapan Mas Rendra.

Langkah cepat menuju ke dapur, mengambil nasi dan menyajikan lauk di atas piring untuk sang raja yang baru datang.

“Dek ... kamu marah?”

“Enggak,” ketusku pada Mas Rendra.

Permintaan maaf dan memaafkan itu memang mudah, tapi bukan berarti itu bisa lupa begitu saja. Setiap perkataan atau perlakuan yang tidak mengenakan, pastilah akan membatin di dalam hati meski seseorang telah berkata maaf.

Aku masuk ke dalam kamar dan membiarkan Mas Rendra sendirian di ruang depan. Kukunci pintu kamar, dan berbaring di atas kasur. Air mata perih tak terasa menetes membasahi pipi.

Hari ini sungguh di luar ekspektasi. Hal yang kupikir akan membuat Mas Rendra bahagia malah berujung dengan air mata duka. Mau bagaimanapun, seorang istri disentak dengan kata yang bernada tinggi pasti menangis juga.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang