Aku mengerjapkan mata. Mengapa Mama tiba-tiba mengalihkan topik. Apa yang sedang terjadi di sini?
"Apa saja boleh, Ma," ucapku.
"Kalau begitu Arlan yang pilih tempat, ya," sahut Mama sambil tersenyum. "Alenna bisa makan dimana saja, kok. Santai saja."
Arlan Pratama menganggukan kepala.
"Mama tidak ikut ke halte?" tanyaku.
"Nanti ada rekan kerja Mama yang jemput di sini," jawab Mama. "Kalian duluan saja, kalau sudah pulang, nanti kabarin, ya."
Kuanggukan kepalaku, "Oke, Ma."
Saat kami sampai di halte, aku bisa melihat ada mobil silver bertuliskan nama perusahaan tempat Mama bekerja yang menjemput Mama. Setelah mobil itu menghilang sepenuhnya dari pandanganku, aku kembali menoleh heran ke Arlan Pratama.
"Kamu mau makan apa?"
"Belum tahu juga," balasnya.
Arlan Pratama duduk dan membuka rapornya, yang membuatku ikut membuka raporku untuk membandingkan nilai kami.
"Wah. Selisih total nilai kita hanya 8 poin," ucap Arlan Pratama, entah benar-benar terkagum dengan hal itu atau hanya untuk menghiburku.
Aku mengigit pipi bagian dalam. Sepertinya kali ini juga, tidak ada kenaikan yang berarti. Pada mid sebelumnya, nilai kami selisih 6,8 poin. Sekarang selisih 8 poin.
Aku kalah lagi, entah sudah yang keberapa kalinya. Itulah alasan mengapa aku mengatakan bahwa aku kehilangan hitungan.
Begini. Kami mulai berlomba soal ini sejak ujian semester genap untuk kenaikan kelas delapan. Saat ini kami ada di titik ujian semester ganjil kelas sembilan. Total ujian yang kami hadapi beserta mid semester sampai hari ini adalah tujuh kali. Dan semuanya adalah kemenangan Arlan Pratama. Lalu soal permintaan, Arlan Pratama baru memakainya dua kali. Masih ada lima kali. Astaga, lima kali.
"Kamu mau makan apa?" tanya Arlan Pratama ketika melihatku menutup raporku dengan kecewa.
"Uhm, enggak tahu. Kamu saja yang pilih tempat," jawabku.
Arlan Pratama menatapku datar, "Ya sudah, kalau begitu."
Selanjutnya, kami hanya diam, menunggu bus datang. Saat sedang merenung memikirkan lima permintaan yang mungkin diminta Arlan Pratama, anak itu tiba-tiba mengajakku mengobrol.
"Kamu sudah punya rencana tahun baru?" tanyanya, yang membuatku langsung refleks mengingat janji yang kami buat di pesan pada tahun lalu.
"Mau lihat kembang api?" tanyaku.
"Makanya, aku tanya dulu kamu sudah ada rencana atau belum," jawabnya.
Mama dan Papa belum membicarakan ini, jadi aku tidak bisa memberikan jawaban pasti.
"Belum, kalau kamu?" tanyaku.
Arlan Pratama melempar senyum, "Ayo kita lihat bersama!"
"Hmm, Papa dan Mama belum bilang sih, aku tidak bisa janji," balasku sambil mengelus tengkukku.
Arlan Pratama menatapku agak lama, "Papa dan Mamamu masih berteman baik, ya?"
"Mereka memang berteman baik sih, dari SMP," balasku agak murung.
Aku tahu bagaimana mereka bisa bertemu. Sepertinya aku sering mengatakan bahwa mereka adalah teman satu SMP dulunya. Keduanya berteman baik hingga SMA, lalu berpisah sampai mereka menyelesaikan perkuliahan mereka. Mereka bertemu lagi ketika acara reuni SMP sepuluh tahun berikutnya, menjalin hubungan, menikah, lalu Mama melahirkanku. Kemudian, keduanya sibuk karena pekerjaan masing-masing. Sesingkat itu, hal yang bisa kuceritakan.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Eighth Thread - "Doubt is Something Dangerous"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)