09. C O M E

216 43 56
                                    

Anak laki-laki itu, pagi-pagi sudah di sini,  di ruang kelas 2-3. Pengalaman dihukum lari keliling lapangan 30x dilanjut membersihkan toilet guru tidak membuat efek jera untuk Jungkook bertandang ke kelas yang dihuni Taehyung dan Jimin. Entah kenapa di sekolah ini dia susah menemukan teman yang cocok selain kedua kakak kelas yang setahun di atasnya itu.

“Jimin masih tidak masuk?” Jungkook melihat meja di sebelah Taehyung masih kosong.

“Sudah lebih seminggu.  Dua minggu malahan. Aku tidak tahu kabarnya. Ponsel dan SNS tidak bisa dihubungi,” tukas Taehyung.

“Mungkin dia sakit?”

“Apa kau akan berhenti main ponsel saat kau sakit?”

Jungkook menggeleng. “Justru kalau aku sakit, aku di rumah aku bisa push rank lebih cepat.” Jungkook nyengir.

“Benar begitu. Saat kita tidak sekolah malah kita lebih aktif main ponsel, kan?”

“Bagaimana kalau kita ke rumahnya sore nanti pulang sekolah.”

“Kau tahu rumah Jimin?”

“Aku tahu. Dia pernah mengantarku pulang dengan mobilnya dan dia bilang kami melewati rumahnya.”

Kriiiiiing
Bel tanda kelas akan dimulai sudah melengking ke seantero sekolah. “Ah sial. Aku harus pergi. Sampai jumpa nanti sore,” tutup Jungkook dengan suara semakin menjauh namun masih bisa didengar Taehyung dan rekan-rekan sekelasnya.

~~~

Sore yang dijanjikan Jungkook tiba, dua anak SMA itu bersama menuju rumah Jimin menurut ingatan Jungkook. Mereka menaiki bus biru dengan nomor 741 lalu turun di halte terdekat dan berjalan kaki untuk mencapai tempat pastinya.

“Ini, masuk kesini adalah rumahku,” begitu kata Jimin sambil menunjuk sebuah pagar kayu yang disampingnya adalah tembok beton membentang.

Pagar itu tak terkunci, maka Jungkook bisa dengan mudah membukanya dan masuk. Dalam bayangan, mereka akan langsung melihat rumah saat melewati pagar tersebut. Nyatanya, hanya ada lahan luas dengan pepohonan.  Ini hutan kota.

“Kook, ini tidak salah alamat?”

“Aku yakin.”

“Tapi aku merasa kita seperti tersesat di hutan,” Taehyung meragu.

“Dia pernah bilang aku hanya perlu terus berjalan. Lihat ini jalan beraspal. Tandanya ada sesuatu di ujung sana.”

Lelah sekolah satu harian ditambah lelah karena mereka harus berjalan kaki mengikuti jalan beraspal hutan lebat yang daun-daunnya mulai berguguran. Taehyung tak henti-henti mengeluh sampai pepohonan  terasa mulai menipis dan menunjukan sebuah rumah mewah dengan arsitektur klasik. Rumah Taehyung tak kalah mewah lah.

Ada pagar lainnya yang melindungi rumah tersebut dari lokasi yang bisa disebut hutan pribadi.

“Adik-adik, ada perlu apa ya ke sini?” Pria itu mengenakan jas formal, ada earpiece di telinganya dan sebuah HT di tangannya.

“Kami teman Park Jimin. Kami ingin bertemu dengannya.”

“Park Jimin tidak ada.”

“Lalu kemana dia?” sambar Jungkook

“Dia tidak bisa ditemui,” jawab pria itu.

Di dalam rumah tepatnya di kamar Jimin, pelayan Go tengah membereskan beberapa kekacauan bekas Oh Jian yang meminta tidur di kamar mendiang putranya. Perhatiannya tertuju pada ponsel Park Jimin yang diletakkan di nakas samping kasur.  Ponsel pintar  ukuran layar 6” yang telah retak. Entah apa yang sudah dia lalui bersama pemiliknya sebelum ini. Ponsel ini dikembalikan bersama dengan barang bukti lain yaitu mobil oleh
polisi pada keluarga saat hari pemakaman Jimin. Karena hari itu juga bertepatan dengan ditutupnua kasus kematian Jimin sesuai permintaan Park Jihoon.

ARTIFICIAL SOUL [re-run ver.]Where stories live. Discover now