00. Prologue

765 101 11
                                    

Aula mewah, berisi kursi berlapis kain hitam rapi berbaris namun banyak yang tak bertemu sentuh dengan bokong. Tidak ada orang, tidak ada pelayat selain keluarga inti saja, dan pelayan yang berdiri rapi di sekeliling.

Bisik-bisik beberapa orang riuh redam membicarakan tentang sepupu mereka yang jarang terdengar kabarnya karena hidup dalam istana dan lingkaran sosial sempit yang dibentuk. Sekalinya terdengar kabar malah kabar dukacita.

Bingkai berbahan kayu premium bercat keemasan berdiri dengan bantuan penyangga dari belakangnya. Berada di tengah tumpukan bunga-bunga yang memancarkan keharuman sayup-sayup namun jelas. Itu adalah foto close-up seorang pemuda dengan jas warna keabuan. Tanpa senyum. Matanya berbinar namun tampak sayu menyimpan kesedihan yang tak terdefinisi, wajahnya tirus namun memiliki kesan gembul pada saat yang bersamaan. Di depan pigura itu terdapat beberapa dupa yang sibuk menguarkan asap wangi secara perlahan.

Jian duduk di salah satu kursi empuk berbalut kain hitam mengenakan hanbok hitam, rambutnya dikucir sederhana dengan hiasan pita putih di sisi poni, penampilan khusus acara pemakaman. Terisak sambil meremas sapu tangan dengan bordiran bunga sederhana di sudut bidangnya.

Wanita itu menyesali segalanya. Menyesali kealpaannya berada di sisi sang putra. Minggu lalu dia menggampangkan dan menganggap remeh laporan ketua pelayan rumah yang khawatir Jimin belum pulang. Waktu itu dia baru menyalakan ponselnya di bandara. Dia dengan santainya berasumsi, "Mungkin dia ingin jalan-jalan. Biarkan saja, Jimin kan dengan supir, tidak sendiri."

Wanita itu juga langsung sibuk dengan pekerjaan begitu sampai di rumah sekaligus lab pribadinya Massachusetts saat telepon genggamnya menderingkan sebuah panggilan lagi dari kepala pelayan yang sama. Dia menjawab panggilan dengan malas. Tangan kiri merapatkan ponsel ke telinga dan tangan kanan menggenggam gelas kopi instan dari kertas. "Tuan Muda Jimin ditemukan di daerah pedesaan di Sokcho, Nyonya."

"Bagus lah kalau dia sudah pulang," jawab Jian acuh tak acuh lalu menyesap kopinya. Kepala pelayan sudah bernada lemas sejak di 'halo' pertama pembicaraan lewat telepon itu. Begitupun Jian, darahnya tiba-tiba berdesir, menyusul ikut lemas lalu sontak menjatuhkan gelas kopinya saat mendapat kabar bahwa Jimin ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.

Bahunya yang bergetar disentuh oleh seorang pria berjas formal warna hitam dengan pita duka cita dari kain putih dengan dua garis hitam di lengan kirinya. Dua garis disana sebagai tanda ada dua garis di hati, satu garis artinya momen ini ditandai sebagai perpisahan terburuk. Sementara satu garis lagi sebagai simbol betapa berharganya mendiang, satu keberuntungan yang pernah dia miliki, namun sekarang sudah bukan.

Dia Profesor Park. "Aku sudah mempersiapkan segalanya," katanya. Wanita itu pun tertegun mendengarnya. Diangkatnya wajahnya. Oh Jian memandang lekat pada suaminya. "Kita akan ulangi lagi semuanya dari awal."

ARTIFICIAL SOUL [re-run ver.]Where stories live. Discover now