06. F R O Z E N _ R O S E

275 43 37
                                    

Roda depan pesawat menyentuh landasan pacu di runway bandara Incheon. Gelap gulita. Lampu kabin masih padam hanya menyisakan cahaya neon sepanjang jalur evakuasi dan akan kembali menyala ketika pesawat sudah parkir di sisi garbarata.

Para penumpang bergegas akan mengeluarkan barang-barang tintingan mereka dari bagasi dalam kabin begitu burung besi ini berhenti sempurna. Namun tidak bagi Park Jihoon dan Oh Jian, sama sekali mereka tak memiliki apapun untuk dikeluarkan. Barang mereka tinggal semua di Massachusetts. Mereka buru-buru menaiki kereta redline agar secepatnya sampai ke Boston untuk terbang ke Incheon.

Begitu mendapat telepon, mereka tanpa pikir-pikir langsung mengambil tiket pesawat apapun. Asal tujuannya Incheon. Pasangan itu hanya membawa diri dan identitas diri.

Selama 18 jam penerbangan langsung tanpa transit dari Boston menuju Incheon, Oh Jian menghabiskannya dengan gelisah. Sembari berharap kabar itu hanya sebuah kekeliruan. Begitupun Park Jihoon menghabiskan 18 jamnya dengan terdiam, pikirannya entah kemana-mana tapi masih seputar putra tunggalnya.

Pasangan itu menempati kursi first class yang mana terletak di bagian paling depan pesawat Airbus dua tingkat. Begitu kapal terbang tersebut berhenti dan tanda sabuk pengaman mati, Jian langsung berdiri, begitupun suaminya. Saat pramugara membuka pintu pesawat, mereka adalah orang pertama yang buru-buru keluar. Segera mencari orang yang sudah stand by menjemput mereka di terminal kedatangan luar negeri.

"Kita langsung ke Rumah Sakit Universitas Minseo," perintah Jihoon pada supirnya, lalu disambut anggukan.

Saat itu jam digital di layar LCD dashboard menunjukkan pukul 3 dini hari. Beruntung jalanan agak lengang sehingga Volvo X390 warna hitam itu dapat melaju ngebut dari Incheon menuju Seoul.

Ketika sampai di lobby rumah sakit, Park Jihoon tidak menanti pengawal pribadinya membukakan pintu, dia langsung saja melompat keluar setelah membuka pintu dengan tangannya sendiri.

Sambil berjalan cepat diikuti sang istri yang terengah-engah, Jihoon mencari nomor kontak detektif yang harus dia temui di sini. "Aku sudah di lobby."

"Anda bisa langsung masuk ke lorong yang ada di timur gedung. Jalan masuknya tepat di balik farmasi. Jalan terus masuk ke dalam."

"Farmasi, farmasi, farmasi," gumam Jihoon sambil mengedarkan mata mencari tempat itu. Lalu ketemu. Mereka berdua pun langsung berlari kesana. Diikuti dua orang pengawal pribadi yang baru saja tiba di belakang mereka habis memarkirkan mobil.

Saat akhirnya bertemu dengan Detektif Kwon, tidak ada basa-basi macam-macam, mereka langsung diajak ke dalam untuk melihat Jimin yang sudah selesai diautopsi. Dokter Kang mendampingi sebagai dokter forensik yang bertanggung jawab atas autopsi Jimin.

Jantung Jian berdegup tak karuan ketika lemari pendingin itu dibuka. Park Jihoon, atau suaminya sendiri yang membuka kain putih penutup itu lalu nampaklah putra kandungnya tertidur pilu dengan bekas luka belahan membujur di dada pasca autopsi.

Sontak dia berteriak melengking ketika menatap wajah Jimin. Lalu bola mata itu berputar dan seketika jatuh pingsan. Tak lama darah segar mengalir dari hidung kanannya, Oh Jian mimisan. Sejak berangkat ke Massachuset kemarin hingga kembali lagi tiba di Seoul malam ini Jian belum ada mengistirahatkan badannya dengan tidur. Wajar kalau tubuhnya drop belum lagi gempuran kejutan-kejutan bagai mimpi buruk ini memperkeruh suasana.

Wanita itu kini dibawa ke UGD, tidur di sana sambil diasup vitamin dan cairan Ringer Laktat lewat intravenous untuk tambahan tenaga.

"Bisa kita bicara di luar sebentar," kata Kwon Jo Chul, detektif yang bertanggung jawab. Membuat Park Jihoon terpaksa berhenti menunggui istrinya tengah tertidur lelap.

ARTIFICIAL SOUL [re-run ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang