Winda membereskan kapas dan beberapa alat makeup miliknya. Ia kemudian segera menaiki ranjang dan berbaring di sana. Ia menatap ke arah Dika dan tetap saja air matanya lagi-lagi kembali menetes. Ia butuh pelukan Mama yang dulu sering memeluknya, ketika ia sedang sedih karena Papa Aji mengacuhkannya.

Winda terlelap dalam kesedihannya. Entah apa yang akan terjadi besok, atau hari-hari selanjutnya dalam hidupnya. Ia sangat berharap ketika ia membuka mata, esok pagi semua yang ia alami beberapa hari ini hanyalah mimpi.

Keesokan harinya suara decitan pintu membuat kelopak mata Winda terbuka. Karena sangat letih dan banyak menangis, ia tertidur dengan pulas. Winda melihat sosok Dika yang ternyata telah bangun. Dika telah rapi dengan pakaian kantornya.

Winda duduk dan mengucek kedua matanya. Dika menunjukkan tatapan sinis membuat hati Winda merasa terluka. Hanya baru tatapannya belum lagi saat ia mendengar suara Dika, yang pastinya sangat membencinya.

Dika mengambil amplop di dalam laci dan melemparnya ke arah Winda. "Itu ATM dan kartu kredit gunakan untuk keperluanmu," ucap Dika dingin.

"Terima kasih, Mas," ucap Winda. Ingin sekali Winda menolaknya, tapi mengingat ia tidak memiliki sepeser pun uang membuatnya mau tidak mau menerima apa yang diberikan Dika.

Aku janji Mas, hanya memakainya sedikit saja. Nanti jika Aku sudah mendapat pekerjaan sampingan, aku akan mengembalikan uang Mas Dika.

Dika melangkahkan kakinya keluar dari kamar dan segera menuju ruang makan. Winda mengembuskan napasnya dan ia segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Setelah itu ia segera memakai jeans dan kemejanya tak lupa tas berwarna pink miliknya. Winda memang feminin, biasanya ia akan memakai rok kesukaannya—rok tutu, tapi karena hari ini ia harus ke kampus dan ini adalah hari pertamanya sebagai seorang istri, Winda berusaha untuk tidak mencari masalah dengan Dika.

Dulu saat ia dan Dika bertemu, pasti tatapan Dika padanya terlihat seperti mencemooh penampilannya. Winda menyukai Barbie sama seperti Anggita, makanya keduanya terlihat begitu cocok.

Winda menuruni tangga dan segera menuju ruang makan. Winda duduk di samping Dilara dan Mahawira. Dika? Laki-laki itu sepertinya telah pergi ke kantor. Anggita tersenyum dan segera menuangkan segelas susu untuk Winda dan beberapa roti dengan selai stroberi kesukaan Winda.

"Makan yang banyak, Sayang," ucap Anggita.

Mahawira menatap Winda dengan iba. Ia sangat menyayangi Winda sama seperti ia menyayangi Dilara adik kandungnya. "Hari ini mau ke kampus?" tanya Mahawira.

Winda menganggukkan kepalanya. Suaranya seperti tercekat membuat Anggita segera berdiri dan memeluknya. "Jangan takut mulai sekarang Winda punya Papa dan Mama di sini," ucap Anggita menatap suaminya yang juga tersenyum pada Winda.

"Enggak ada gunanya menyesali apa yang terjadi. Mulai sekarang Papa mau kamu belajar yang rajin. Apa kamu mau kuliah bersama Dilara di Amerika?" tanya Ardana.

Winda menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin menjadi benalu. Lagian, ia akan berusaha keras membiayai kuliahnya sendiri. "Winda kuliah di sini saja, Pa," ucap Winda.

Ardana menghela napasnya. Ia merasa kasihan melihat Winda. Apalagi sikap adik kandungnya yang begitu diingin pada Winda dan sekarang keponakan istrinya akan membuat Winda menderita.

"Papa tahu sikap Dika padamu mungkin akan membuatmu terluka, tapi Papa yakin kamu bisa menghadapi semua ini. Dika pada dasarnya memiliki hati yang lembut, tapi mungkin karena kehilangan kedua orang tuanya membuatnya menjadi sosok yang keras dan egois," ucap Ardana.

Anggita menggenggam tangan Ardana. "Pa, Mama yang membesarkan Dika. Mama yakin Winda adalah gadis terbaik buat Dika," ucap Anggita.

Terbaik? Mama salah, Mas Dika tidak mengharapkanku berada di sisinya. Maafkan Winda jika suatu saat Winda dan Mas Dika pasti akan berpisah.

"Pa, Ma, Winda pergi dulu," ucap Winda. Ia berdiri dan mencium punggung tangan Anggita, Ardana dan tak lupa menepuk lengan Mahawira dan Dilara.

"Pergi, Mas, Dil," ucap Winda.

"Mas antar," ucap Mahawira.

"Enggak usah Mas, Winda naik angkot aja. Assalamualaikum," ucap Winda.

"Waalaikumsalam," ucap mereka.

Anggita menghapus air matanya dan Dilara merasa sangat bersalah melihat sahabatnya begitu terluka. Ardana menatap Dilara dengan tatapan kecewa. Kejahilan Dilara membuat kehidupan Winda hancur berantakan.

"Dila, kamu harus introspeksi diri kamu, Nak. Kejahilanmu membuat kehidupan Winda berantakan. Papa ingin kamu berhati-hati dalam bertindak, apalagi kamu akan tinggal sendiri di Amerika. Tidak ada pengawasan dari Mama, Papa dan saudara-saudaramu," ucap Ardana menatap putri bungsunya itu dengan tatapan serius.

"Iya, Pa," ucap Dilara sendu. Ia menyadari jika ucapan papanya itu benar. Mulai saat ini ia harus mandiri dan bersikap dewasa.

"Wira ...."

"Iya, Pa?" Wira menatap papanya itu dengan tatapan serius.

"Tanggung jawab Agrya TV sekarang ada ditanganmu. Sebelum Dika dan Mahendra mengambil alih. Untuk sementara ini kamu tetap bekerja di perusahaan dan juga di rumah sakit. Papa tidak mau Opa banyak pikiran dan jatuh sakit akibat memikirkan bisnis. Opa butuh banyak istirahat dan menikmati masa tuanya dengan tenang," ucap Ardana.

Ardana seorang dokter dan bukan seorang pebisnis seperti mertuanya. Ayah mertuanya adalah orang yang sangat ia hormati dan kagumi. Dulu Ardana adalah dokter pribadi almarhum istri Wibi—mertuanya. Ardana jatuh hati pada putri pertama Wibi yaitu Anggita yang selalu menemuinya untuk memeriksa kondisi ibunya. Pertemuan keduanya menumbuhkan rasa cinta. Perjuangan cinta Ardana dan Anggita tidaklah mudah, tapi Wibi sang mertualah yang selalu mendukung keinginan Ardana untuk menikahi Anggita, walaupun saat itu cinta Anggita dan Ardana terhalang restu orang tua Ardana.

"Masalah Dika gimana, Pa? Kalau Dika tetap keras kepala menolak pernikahan mereka, Winda pasti akan menderita, Pa. Apalagi Aji tidak mau lagi mengakui Winda sebagai anaknya. Winda enggak punya siapa-siapa selain kita, Pa," ucap Anggita sendu.

Wira memeluk mamanya dan mencoba menangkan sang mama. "Wira janji, Ma, akan menjaga Winda. Mama jangan khawatir. Winda sudah Wira anggap sebagai adik Wira, Ma. Wira enggak akan membiarkan Dika menyakiti Winda, Ma," ucap Mahawira.

Dilara meneteskan air matanya. Ia sangat-sangat menyesal, tapi ia tidak bisa membantu Winda saat ini. Ia juga baru tahu jika Winda bukanlah anak kandung dari Aji dan Hanifa.

"Semua sudah terjadi, yang penting sekarang apa pun yang terjadi Winda akan menjadi putri kita, Ma," ucap Ardana. Anggita menganggukkan kepalanya sambil terisak.

Pagi tadi Wibi telah berangkat ke Manado karena ada acara bersama para sahabatnya. Ardana menginginkan Dika menjadi direktur Agrya TV menggantikan Wibi. Mahawira merupakan seorang dokter yang seharusnya tidak memegang jabatan penting di perusahaan Agrya. Sudah sejak lama Ardana dan Wibi menentukan jika Mahawira dan Mahendra yang akan mewarisi Agrya TV.


Merajut asaWhere stories live. Discover now