"Kenapa tidak dari balkon saja?" tanyaku saat membuka pintu.
Arlan Pratama menaikkan sebelah alis dan tersenyum heran, "Kupikir kamu bilang nggak mau bicara denganku lagi di balkon?"
Ah ... dia masih mengingatnya. Padahal aku sendiri juga sudah melupakan kata-kata yang kuucapkan. Setelah kuingat-ingat lagi, itu memang terakhir kalinya kami berbicara di balkon.
"Oh, soal itu." Aku mengetuk dinding dengan dua jariku untuk menghindari kecanggungan. "Kalau gitu, ayo masuk."
Arlan Pratama menyapa Mama saat melihat Mama sedang berkutat dengan laporan-laporan perusahaan. Senyumannya selalu saja terlihat seolah dia tidak pernah menghadapi masalah, padahal kenyataannya masalah yang dihadapinya mungkin sangat berat sampai dia bisa berpikir bahwa itu tidak lagi memiliki jalan keluar dan opsi lain.
Aku menuntunnya ke ruang belajar. Karena pintu memang tidak pernah kututup, kubiarkan saja seperti itu.
"Kamu nggak ngerti pelajaran apa?" tanyaku sembari mengeluarkan catatan.
Arlan Pratama tampak memperhatikan ruangan dari sudut ke sudut, lalu menjawab, "Kamu sudah ngertinya pelajaran apa?"
"Untuk satu bab awal semua pelajaran, rata-rata udah lumayan ngerti," jawabku.
Pandangan Arlan Pratama berakhir di meja belajar. Dia melihat piala juara umum miliknya agak lama. Tunggu, dia tahu soal dirinya yang mendapat juara umum dan membaca dengan jelas nama yang tertera di piala, kan? Tiba-tiba dia menoleh ke arahku, seolah meminta penjelasan.
"Uh, mereka menitipkannya padaku kemarin. Aku tidak sempat bertemu denganmu, jadi ..."
Arlan Pratama menggeleng, "Bukan soal itu. Kamu tidak apa-apa dititipin kayak gitu?"
"Tidak apa-apa, kok," balasku cepat.
Arlan Pratama tidak lagi mengatakan apa-apa, dia memutuskan untuk duduk di kursi lain yang memang tersedia di ruang belajar.
"Kapan kamu masuk sekolah?" tanyaku memecah keheningan.
"Senin," jawabnya.
Aku mengangguk termanggut, "Oh, gitu."
Keadaan ini sangat canggung, ini karena Arlan Pratama tidak mengatakan apa-apa. Mendadak, hal itu membuatku berpikir panjang, mungkin jika hari ini tidak datang, aku tidak pernah ingat bahwa Arlan Pratama yang memulai semua percakapan yang pernah kami lakukan.
Aku memilih untuk mengeluarkan buku-buku catatanku. Walaupun kami tidak satu kelas, aku yakin kalau pelajaran yang kami dapatkan pastilah sama saja. Lagipula, ada banyak hal yang kutulis lebih lengkap daripada yang ada di papan tulis. Tidak sesuai sedikit saja, seharusnya tidak akan menjadi masalah besar.
"Aku ke sini bukan mau minjam catatanmu, lho," ucap Arlan Pratama ketika aku sedang memeriksa bukuku sendiri.
Keningku mengerut heran, "Jadi? Mau langsung kujelasin?"
Arlan Pratama diam saja. Aku memutuskan untuk kembali duduk di depan meja belajar. Kutarik napasku panjang-panjang, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menyeret kursiku untuk mendekatinya. Suara roda dari kursi belajarku mengalir bersama dengan keheningan, saat kucoba mendekatkan jarak duduk kami.
"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya.
Arlan Pratama bertanya balik, "Aku terlalu jelas, ya?"
Tidak tahu harus menjawab apa, akhirnya kuanggukan kepalaku.
"Iya, kamu tidak apa-apa?"
Kurasa, itu pertama kalinya Arlan Pratama menggelengkan kepalanya ketika sedang menceritakan masalahnya.
"Enggak, aku ingin melenyapkan diri," balasnya sambil menunduk.
"Jangan bilang begitu," sahutku pelan.
"Aku capek."
Aku tidak bisa melihat raut wajahnya, kuintip sedikit ekspresinya dengan menurunkan kepalaku. Dia memejamkan mata, wajahnya sama persis seperti yang kulihat ketika di rumah sakit tadi. Tertekan, gelisah, dan benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri tanpa bisa kuketahui sebabnya.
Kuulurkan tanganku ke bahunya dengan agak ragu. Namun saat aku menepuk pundaknya, aku sangat yakin bahwa hal yang kulakukan memang sudah benar.
"Kamu sudah berusaha," ucapku dengan suara kecil.
"Enggak, aku sumber masalahnya. Sejak awal, semuanya gara-gara aku." Arlan Pratama mengangkat kepalanya tiba-tiba. Kami hanya bersitatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia menjauhkan tanganku dan memalingkan wajah. "Kalau aku tidak pernah ada di dunia ini, semuanya tidak akan seperti ini."
Aku bangkit dari dudukku, "Kenapa kamu malah nyalahin diri sendiri?"
"Ya, karena memang gara-gara aku," jawabnya cepat, seolah dia tidak keberatan dengan pernyataan itu. Arlan Pratama tidak tahu, aku sangat keberatan dengan itu.
"Segala hal yang terjadi di dunia ini sudah ditentukan oleh--"
"Takdir?" Arlan Pratama memotong. "Sejak dulu, aku tidak percaya dengan takdir. Semua orang mengatakannya itu sangat hebat, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Aku dan kamu tidak kebetulan dapat ranking karena takdir. Semua yang terjadi hari ini bukan terjadi karena itu."
Ada satu hal yang kusadari saat ini. Pendapat kami tidak pernah sama, tetapi aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku sendiri juga tidak mempermasalahkan soal Arlan Pratama yang tidak percaya soal takdir, itu hal yang normal. Aku hanya tidak setuju saat Arlan Pratama mengatakan bahwa dia tidak seharusnya lahir, dan mengatakan begitu seolah hidupnya memang tidak berarti.
"Aku bingung," ucapku pada akhirnya. "Kamu ingin aku bereaksi seperti apa dengan perkataanmu?"
Arlan Pratama tidak menjawab, masih tetap memalingkan wajah.
Aku dalam posisi berdiri dan Arlan Pratama dalam posisi duduk. Kalau saja aku memaksanya, aku bisa saja langsung bergerak kemana matanya menoleh. Namun aku tidak melakukan hal kekanak-kanakan seperti itu. Kuharap dia segera menyesal mengatakan hal itu.
"Aku tidak tahu harus bilang apa, tapi kata Mama, semua orang hidup untuk membuat makna terhadap hidup orang lain. Menurutku kamu terlalu berpaku pada satu hal dan kamu hanya terus menyalahkan dirimu. Aku yakin, tidak ada yang ingin menyalahkanmu."
Arlan Pratama sepertinya ingin membantah, tetapi aku buru-buru menambahkan, "Hanya kamu yang ingin menyalahkan dirimu sendiri."
Sepertinya itu yang ingin dikatakan Arlan Pratama, sebab setelah aku mengatakan begitu, dia benar-benar terdiam.
"Aku tidak mengutip kalimat ini dari mana pun, jadi dengarkan aku baik-baik. Bagiku juga, keberadaanmu di sini memberikan makna di hidupku dan Mama."
Arlan Pratama mengerjapkan matanya, sepertinya terkejut dengan perkataanku. Namun tidak ada tanda-tanda dia akan membantah, oleh karena itu aku langsung melanjutkan.
"Walaupun kamu tidak merasa ini benar, bagiku pertemuan kita bukan kebetulan. Sejak awal, itu memang sudah ditakdirkan."
***TBC***
1 Juli 2019, Senin
Cindyana's Note
Inilah percakapan yang aku bilang bikin aku stuck berhari-hari. Akibat kelabilan Arlan -_-
Ini 2300 kata. Entah kenapa rata-rata chapter Red String malah sepanjang ini.
REMINDER untuk reader-readerku tersayang. Nama ALENNA itu double N. Kenapa pada di-Alena-in sih -_-
Oke, jadi aku sangat positif kalau ini sudah mendekati puncak konflik. Kuharap kalian bersiap-siap. Dan semoga kalian tidak terlalu kaget yaaa. Hehee.
Mungkin kalian bingung dengan alur Red String, karena berdasarkan cerita Air Train, masa-masa saat ini adalah masa awal Tyara memulai konflik. Tapi setelah mengetik sejauh 26 chapter, aku sangat yakin kalau alur mereka berbeda. Dan puncak Alenna akan segera datang~~
Sebenarnya aku masih agak deg-degan saat akan reveal konflik puncaknya, tapi semoga semuanya berjalan lancar.
Cindyana
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Sixth Thread - "Trust is Something We Called Chance"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)