Arlan
Kok tahu aku belum pulang?
Alenna
Memangnya kamu sudah pulang?
Dia sengaja ya? Arlan Pratama sedang menguji kejujuranku atau apa? Hampir saja aku terjebak di pertanyaannya itu.
Arlan
Tumben nggak nyuruh baca di buku paket.
Alenna
Kupikir kamu udah baca buku paket, makanya bilang nggak ngerti.
Jawabanku normal, kan? Semoga saja Arlan Pratama tidak mencurigai apapun.
Kulirik lagi ekspresi Arlan Pratama di sana. Tidak ada apapun yang berubah. Hebat sekali. Hebat sekali dia bisa mengetikkan hal-hal semengesalkan itu dengan wajah datar tanpa ekspresinya.
Arlan
Aku capek.
Kali ini pesan darinya berhasil membuatku kembali berdebar tegang. Apakah Arlan Pratama akan bercerita sekarang?
Arlan
Malas baca buku.
Hehe.
Hehe apanya! Aku ingin sekali membalas itu kepadanya, tetapi sekarang aku menyadari bahwa Arlan Pratama mungkin hanya tidak ingin membuatku cemas--walaupun aku sangat cemas sekarang--dan mungkin Arlan Pratama merasa bahwa ini bukan waktunya membahas hal itu. Terlebih lagi di chat.
Tidak tahu harus membalas apa, aku mengirimkan stiker beruang menangkap kupu-kupu.
Arlan Pratama memperhatikan layar ponsel agak lama, kupikir dia akan langsung mematikannya karena sudah tidak ada apapun yang bisa dibahas lagi. Namun tiba-tiba jari-jarinya kembali mengetikan sesuatu di atas layar. Dia membacanya agak lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirimkannya.
Belajar dari pengalaman ketika Arlan Pratama ragu dalam mengirim pesan dan berpeluang mengurungkan pesan itu, aku buru-buru membacanya begitu ponselku kembali bergetar.
Arlan
Kalau sudah selesai belajar, kabarin ya.
Belum lagi aku membalas, ujung lorong mendadak terang untuk beberapa alasan. Saat kuperhatikan, ternyata ada pintu yang terbuka di samping kursi yang didudukinya. Arlan Pratama menoleh sebentar, bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam ruangan itu tanpa mengulur waktu.
Pintu itu tertutup. Berikutnya, lorong itu kembali gelap.
Selanjutnya, pintu di belakangku yang terbuka. Aku berbalik dan menemukan Papa di sana. "Alenna, Papa sudah selesai. Ayo, Papa antarin pulang."
Aku mengangguk, lalu kembali melirik ujung lorong tempat terakhir aku melihat Arlan Pratama.
Sembari berjalan berdampingan dengan Papa, aku membalas pesannya.
Alenna
Kamu juga, kabarin kalau sudah pulang.
*
Kurang lebih pukul sembilan malam, suara bel apartemen terdengar. Mama sempat ingin membukanya, sebelum aku mencegahnya dan menjelaskan bahwa yang menekan bel adalah Arlan Pratama dan kami harus mendiskusikan sesuatu. Karena mengatakan demikian, Mama membiarkanku membukanya.
Aku mengabarkannya bahwa aku telah selesai belajar begitu aku pulang dari rumah sakit. Sementara itu, Arlan Pratama baru mengabarkan bahwa dia akan kembali sekitar setengah jam yang lalu.
Tanpa bertanya pada Arlan Pratama, aku mengerti maksudnya yang memintaku mengabarinya setelah selesai belajar. Dia ingin membicarakan sesuatu, dan dugaanku benar. Karena kalau tidak, dia tidak mungkin menekan bel selain untuk keperluan makan malam.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Sixth Thread - "Trust is Something We Called Chance"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)