Dia adalah anak laki-laki, ada tas hitam yang bersandar pada sandaran kursi, dan juga ... dia menulis menggunakan tangan kirinya.
Aku mengerjap ketika menyadari hal itu. Tidak salah lagi, itu Arlan Pratama.
Tidak mungkin aku salah mengenali model rambutnya, atau tasnya, atau segala gerak-gerik yang dilakukannya barusan.
Sedang apa Arlan Pratama di rumah sakit?
Aku tidak bergerak dari posisiku. Kuperhatikan lagi apa yang sedang dilakukannya. Dia memperhatikan layar ponselnya selama beberapa saat, lalu mencatatnya di buku. Hal itu terjadi berulang-ulang. Kakiku rasanya gatal sekali untuk bergerak mendekatinya, lalu menegurnya karena dia tidak seharusnya menulis atau memainkan ponselnya di tempat yang gelap.
Mendadak, aku teringat telepon yang pernah didapatkan Arlan Pratama. Memang, dia pernah mereferensikan sesuatu tentang rumah sakit.
Aku ingat sekali kapan itu terjadi ....
Saat aku meminjamkan payungku untuk yang kedua kalinya. Akhir tahun lalu.
Diam-diam, aku mengigit pipi bagian dalamku. Sudah enam bulan berlalu, dan apakah orang itu belum sembuh? Aku tidak tahu siapa yang sakit, tetapi melihat Arlan Pratama seorang diri di rumah sakit, entah mengapa membuatku sangat perihatin.
Kalau aku menghampirinya, apakah itu akan membuat Arlan Pratama terganggu?
Tiba-tiba, Arlan Pratama berhenti menulis. Dia bahkan menyingkirkan buku tulisnya dan menyimpannya kembali dalam tas, lalu bersandar pada sandaran kursi, memejamkan mata, dan menghela napas panjang.
Aku tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya, tetapi aku selalu merasakan bahwa Arlan Pratama kesepian dan butuh seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Arlan Pratama tidak menangis, tetapi entah mengapa aku selalu merasa bahwa dia sedang menangis dalam hati, setiap melihatnya sedang tidak tersenyum (baiklah, aku sangat sok tahu, aku benci sisi diriku yang satu itu).
Tiba-tiba, ponsel di tanganku bergetar. Saat kuperiksa, Arlan Pratama mengirimkan pesan. Aku memeriksa Arlan Pratama yang masih duduk di kursi di ujung lorong itu. Dia memang sedang memainkan ponselnya tanpa ekspresi.
Arlan
Malam :)
Kamu lagi sibuk, tidak?
Aku menerima pesan itu dengan perasaan berdebar. Kupikir dia tahu aku sedang mengobservasinya dari lorong ini dan ingin menangkap basah diriku. Namun setelah mengirim pesan itu, Arlan Pratama kembali bersandar menatap langit-langit, entah memikirkan apa.
Aku pun segera membalas pesannya dengan kilat.
Alenna
Malam.
Enggak, kenapa?
Haruskah aku meletakan stiker agar keadaan tidak canggung? Baiklah, mungkin hanya aku yang merasa bahwa ini merupakan hal yang canggung. Arlan Pratama sepertinya adalah tipe orang yang akan menyadari kejanggalan orang lain lewat pesan. Sepertinya aku harus berhati-hati.
Arlan
Kamu lagi belajar ya?
Ada pelajaran yang tidak kumengerti.
Kukerutkan keningku dalam, entah mengapa tidak yakin bahwa Arlan Pratama terlihat sekelam itu hanya karena tidak mengerti pelajaran. Maksudku, dia nomor satu di angkatan kami. Kurasa tinggal mencari rangkuman di internet dan mencernanya baik-baik, dia akan langsung mengerti.
Alenna
Nanti kalau kamu sudah pulang, aku pinjamin rangkumanku.
Kalau masih ada yang bikin bingung, nanti kuajari.
Aku mulai menjadi orang aneh, karena setiap aku menekan tombol send, aku langsung meluruskan kepala untuk melihat ekspresi dan reaksi Arlan Pratama. Kurasa akan lebih mudah jika aku langsung menghampirinya dan menjelaskan langsung di sana, tetapi sepertinya aku tidak punya nyali sebesar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LFS 2 - Red String [END]
Fantasi[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Sixth Thread - "Trust is Something We Called Chance"
Mulai dari awal
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)