The Twenty Fifth Thread - "Lie is Something Continual"

Mulai dari awal
                                        

Piala itu masih terpajang sementara di meja belajarku, itu berhasil memotivasiku untuk belajar lebih keras. Aku sepertinya bisa belajar empat jam tanpa berhenti, kalau saja Mama tidak mengajakku makan malam.

"Arlan nggak bilang akan makan malam bersama hari ini," ucapku setelah kami duduk agak lama di meja makan tanpa memulai apapun.

"Kamu nggak tanya?" tanya Mama sambil mengambil piring untuk menaruh nasi.

"Masalah keluarga, aku nggak berani tanya," balasku singkat. "Belum tentu dia mau jawab."

"Hmm ... Gitu." Mama mengambil lauk dan menempatkannya di piringku. "Oh ya, Sayang. Mama hampir lupa ngasih tahu. Besok sore kamu mampir ke rumah sakit, ya. Papamu mau ngajak kamu malam mingguan, katanya."

Aku mulai menyantap makananku sambil mencerna kata-kata Mama, "Terus, Mama?"

"Mama tidak bisa ikut. Ada projek besar di kantor, kerjaan Mama sudah menggunung. Kayaknya besok malam, Mama bakal pulang agak malam, deh," curhatnya.

"Oh, gitu."

Padahal, aku tahu Papa sengaja memilih besok karena Papa tahu kalau aku masih di masa awal-awal kelas dan tidak akan sibuk belajar. Papa juga sengaja memilih tanggal yang tidak mendekati akhir bulan atau tepat di awal bulan. Namun tampaknya semua rencana brilian Papa akan gagal karena Mama tidak bisa ikut.

Hari ini adalah hari sabtu, seharusnya aku bisa belajar lebih lama daripada kemarin. Namun rencana hari ini berubah ketika aku sedang membereskan bumbu dapur. Stok garam dan gula sudah nyaris habis. Mama memang sudah bilang tidak akan memasak hari ini, karena Mama akan pulang terlambat dan makan di luar, sementara aku dan Papa akan menghabiskan waktu untuk makan di suatu tempat. 

Karena hal itulah, aku memutuskan untuk mengunjungi minimarket terdekat. Bukan jenis minimarket yang menawarkan banyak produk, tidak selengkap yang ada di pusat perbelanjaan, tetapi aku dan Mama cukup sering berbelanja bumbu dapur yang sudah mulai habis. 

Suasana di minimarket tidak terlalu ramai, ada beberapa pengunjung yang menenteng keranjang dan mengisinya dengan barang yang mereka perlukan. Siang ini sangat terik. Aku sampai curiga ada beberapa orang yang masuk kemari hanya untuk menyejukkan diri dengan memutar-mutar seputaran minimarket untuk menikmati suhu dingin yang memang tersedia di sana.

Kulangkahkan kaki untuk pergi ke lorong yang sudah agak kuhafal letaknya. Sembari memastikan bahwa aku mengambil merek yang benar, aku juga memastikan bahwa waktu kadaluarsa masih cukup jauh. 

Kubalikkan kepala saat menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di belakangku, lalu kudapati seorang gadis berambut sebahu yang langsung tersenyum begitu kami saling bersitatap. 

"Alenna?"

Ah, dia gadis berseragam sailor itu! Dia ingat namaku?

"Tyara?"

Tyara menatapku kagum seolah aku mengucapkan sesuatu yang hebat. Detik berikutnya, dia menanyakan kabarku, "Hai, apa kabar?"

"Baik," balasku singkat, sambil berusaha tersenyum agar dia tidak merasa tidak nyaman. 

"Sabtu kalian tidak masuk sekolah, ya?" tanya Tyara sembari memilih beberapa merek gula secara acak. Ya, benar-benar acak karena dia tidak memeriksa kandungan zat di dalamnya, waktu kadaluarsa, atau apapun itu yang seharusnya dia lakukan. 

"Iya. Kalian masuk?" 

Itu pertanyaan terkonyol yang mungkin didengar oleh Tyara, mengingat bahwa saat ini dia memang sedang memakai seragam sekolahnya. 

"Biasanya kalau sabtu, sekolah kami dibuka untuk kegiatan klub dan ekstrakurikuler, tapi karena aku tidak ikut klub, jadi biasanya aku di rumah," balasnya sambil melangkah ke lorong minuman yang letaknya hanya berseberangan dari lorong ini.

LFS 2 - Red String [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang