Chap - 23

543 69 24
                                    

Bagaimana bisa pagi ini terasa sangat indah. Barangkali kegelisahan tidak lagi melekat pada diri Galih. Mengenai apa? Masa lalu? Meski belum sepenuhnya selesai, meski pendosa masih terngiang di nama belakangnya. Ia masih terbuai dengan kesenangan yang mereka lewatkan tadi malam. Seperti bukan dirinya, ia telah merasa menjadi seorang suami seutuhnya. Galih belum ingin memikirkan hal rumit.

Menurutnya, menemukan Andien yang tertawa di pagi hari ketika mendengarkan mamanya bernyanyi adalah pemandangan yang sangat menyejukkan. Sita memainkan ukulelenya sesuai nada.

If you see the rain, all the frog will sing

Take your umbrella and dancing under rain,

If you see the stars, the cricket ratling

Turn on your campfire and talking to the stars.

Itu lagu kesukaan Andien dan Galih sudah sangat hapal lirik yang diciptakan oleh Sita sendiri. Galih memandangi ibu dan anak itu dari balik punggung mereka. Berdiri di sisi meja makan sambil meneguk susu dingin kesukaannya. Dia tersenyum. Meneguhkan hati, bahwa ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan perihal Anis kepada Sita. Ia pun beranjak dari posisi awal, menghampiri Sita yang masih senang bernyanyi di ruang tengah.

"Halo, Putri Papa," sapa Galih sambil mendaratkan ciumannya ke pipi Andien. "Lagi dengerin lagu favorit, ya?" Andien mengangguk dengan tawa lebar. "Ohhh ... mama suaranya bagus, ya?" Sekali lagi Andien mengangguk senang.

Sita menyanyikan bait terakhir, kemudian bertepuk tangan kecil. Menghibur. Galih pun memindahkan Andien ke pangkuannya.

"Kamu nggak pergi ke kantor?" tanya Sita ingin tahu. Tak biasanya Galih sesantai ini ketika pagi.

"Aku pergi agak siangan hari ini."

"Oh ...." Sita menanggapi sekadar. Meletakkan ukulelenya di sofa kemudian bangkit dari tempat duduknya untuk beranjak ke dapur. Galih mengikutinya, duduk di kursi makan dan meletakkan Andien di kursi bayi berwarna pink.

"Ada hal yang mau kuomo—" Mereka bersuara serentak.

"—ngin." Sita mengucapkan kalimat terakhirnya sendiri. Ia memandangi wajah Galih yang tersenyum kecil dan rasanya sudah bisa ditebak. Suaminya itu pasti akan membahas persoalan yang sama. Yaitu, Anis.

Sita mengolesi roti tawar dengan selai blueberry. Sementara Galih menyibukkan diri dengan salad buah yang sudah disediakan Sita sebelumnya, menyarupnya sesuai selera.

"Kamu mau ngomongin apa?" tanya Galih mempersilahkan duluan.

"Mungkin kita bakal membahas hal yang sama." Sita melirik Galih seolah menuding.

"Maksud kamu?" tanya Galih. Sedikit menebak, barangkali Sita memang sudah tahu apa yang akan dibicarakannya saat ini.

"Anis bilang, kamu sudah pernah menemuinya beberapa hari yang lalu."

Galih terhenyak. "Anis? Kamu udah ketemu sama dia? Kapan? Di mana?" Ada nada seolah memaksa dari suara Galih.

"Semalam, di arena downhill bike. Aku datang untuk menemui Nouvie, dan tanpa sengaja Anis sudah ada di sana. Menonton pertandingan."

Galih mencondongkan dirinya mendekat. "Lalu? Apa kalian bicara? Apa kamu sudah mengatakan permintaan maaf kita?"

"Galih!" Sita menghentikan olesan selainya, menatap Galih yang terlalu antusias. Ternyata benar, Galih masih memikirkan Anis. Sita kembali teringat dengan igauan Galih tadi malam. Dan mengingat itu, membuat hatinya sedikit terluka. Hanya saja ia berusaha menepisnya. "Aku sudah mengatakan semuanya. Aku bener-bener nggak nyangka, ternyata Anis sudah memaafkan kita sejak lama."

"Serius?" Wajah Galih mendadak semringah.

"Iya. Hanya saja, aku belum yakin apakah Anis masih mau berhubungan lagi sama kita atau nggak. Kamu tahu, 'kan? Aku benar-benar merindukannya, Gal. Aku nggak akan bisa menggantikan posisi sahabatku dengan orang lain sampai sekarang. Anis, aku ingin bertemu dengannya sekali lagi. Enggak!" Sita menggeleng, menggigit rotinya kecil dan bicara sambil mengunyah. "Aku ingin mengembalikan persahabatan kami yang dulu."

"Sita, Aku tahu betul tipe wanita seperti apa Anis. Sekali ia dekat dengan seseorang, selamanya ia akan menjaga hubungan itu sampai selamanya." Galih kembali mengunyah saladnya. Sesekali menghibur Andien yang tak ingin di cuekin. "Aku sudah agak tenang sekarang. Kita hanya tinggal mengatur waktu yang tepat untuk bisa ketemu sama Anis."

"Nanti aku minta nomor hapenya dari Nouvie, barangkali dia tahu." Sita menambahkan.

"Ide bagus." Mereka pun saling tersenyum. "Terima kasih, Sita. Aku benar-benar sangat berterima kasih. Langkah kita akan semakin mudah sekarang."

Terima kasih untuk apa, Gal? Aku hanya bisa tersenyum memaksa di balik roti kunyahanku. Terima kasih atas usahaku mengembalikan kekasihmu? Atau terima kasih atas pelayananku tadi malam? Kamu membuatku tidak mengerti.

***

Seiring berjalannya waktu. Hubungan Anis dengan Sita semakin membaik. Ia sudah bisa melupakan masa lalunya yang kelam dan menggantinya dengan hari-hari penuh persahabatan. Anis sudah mulai leluasa menerima takdir hidupnya. Sejauh apa pun ia pergi, kenyataanya ia akan selalu kembali pada mereka.

Kami akan selalu mengenang kebaikanmu, Nis. Sita dan Galih pernah mengatakan hal itu padanya secara langsung. Ketika Sakti bersedia menemaninya untuk bertemu dengan sepasang suami istri tersebut. Anis sadar, tidak dapat menampik kebaikan diri sendiri. Kebenaran yang terjadi adalah, ia merasa lebih hidup sejak berdamai dengan masa lalunya. Anis dan ayahnya telah setuju untuk mengembalikan tali silaturahim yang telah lama terputus.

Sita sudah sering berkunjung ke rumah Anis dan bercengkrama bersama. Melibatkan Andien dan terkadang menyertai Galih. Anis akan memasakkan berbagai macam makanan untuk mendampingi obrolan mereka saat makan malam. Mengajak Andien bermain bersama dan membawanya ke minimarket untuk sekedar jajan. Galih juga sudah lebih akrab dengan Sakti. Obrolan mereka soal otomotif ternyata mampu membangun chemistry yang ideal.

Dua bulan adalah waktu yang sangat berharga. Semuanya berlangsung sangat harmonis. Meskipun Anis sadar, bahwa tampaknya Sita telah membiarkan Galih kembali masuk ke dalam hatinya lagi. Anis tak pernah berpikiran jahat. Tapi semua perhatian yang sering Galih lontarkan padanya, membuat hatinya tergerak kembali. Itu seperti charger berkomponen khusus yang dapat membangkitkan semangat kebaikannya kemudian.

Sama seperti yang terjadi hari ini. Anis, Sakti dan juga sepasang suami istri yang telah mereka anggap sebagai saudara dekat itu, telah membuat janji untuk menonton film bioskop. Meski Sakti tak pernah suka kegiatan menonton, tapi ia selalu saja kalah dengan bujukan Anis. Dia tidak akan pernah tega membiarkan Anis merengut berhari-hari.

"Pergilah bersamaku atau kamu nggak akan pernah mendapat hidangan penutup makan malam dariku."

Itu adalah nada ancaman yang paling tidak disukai Sakti. Dessert buatan Anis adalah yang terbaik. Kembang tahu, es pisang ijo, puding kelapa muda, itu semua adalah hidangan terlezat yang pernah ada. Mana mungkin Sakti rela kehilangan itu semua.

Dengan riasan wajah natural dan manis, setelan kasual yang elok dipandang, Anis menapaki lantai mall bersama Sakti. Filmnya akan main 2 jam lagi, Sita sudah memesan tiket untuk mereka semua. Nonton gratis bukanlah pilihannya, tapi ia dan Sita tak pernah perhitungan kalau soal uang. Mereka akan saling bergantian membebaninya, meski terkadang Sita lah yang lebih banyak memberi.

-----------------------

Ingin langsung baca sampai Tamat? Silakan mampir ke KARYAKARSA dengan judul series yang sama

Cinta Butuh JeraWhere stories live. Discover now