Chap - 21

594 74 26
                                    

Pukul 22.00 malam, Galih masih mengantri di warung penjual nasi goreng kesukaannya. Tiga puluh menit yang lalu, Sita mengirimkan pesan.

"Galih, aku nggak masak apa-apa hari ini. Rasanya capek banget. Kalau nggak keberatan, kamu bisa belikan dua bungkus nasi goreng Mang Tanto? Aku bakal sangat berterima kasih. Hati-hati di jalan."

Malam ini antrian di warung Mang Tanto lebih padat dari malam biasanya. Barangkali dipengaruhi oleh cuaca sehabis hujan yang membuat semua orang dua kali lipat merasakan lapar. Begitu pesanannya selesai, Galih kembali ke mobilnya dengan langkah melompat panjang. Menghindari genangan air yang tidak bersih. Atau ia akan mengalami infeksi penglihatan akibat lantai mobilnya yang kotor dan bau.

Ia tidak begitu lelah malam ini. Sebab ia sudah beristirahat lama dalam perjalanan udara. Baginya itu sudah cukup membuat pikirannya kembali segar dan pulang ke rumah dalam keadaan fit. Galih rindu pada Andien. Dan semakin bertambah rindu manakala foto putrinya terpampang jelas di baliho pinggiran jalan. Iklannya baru terbit sepertinya. Pose naturalnya itu memberikan kesan kehangatan, ia cocok sekali bersanding dengan Almira Freddie. Sita juga pernah cerita padanya kalau Almira Freddie sangat mengagumi Andien, katanya Andien itu seperti boneka panda yang tidak pernah marah diperlakukan bagaimanapun.

Galih tersenyum bangga. Rupanya Sita telah merawat putrinya dengan sangat baik.

Malam semakin larut, perjalanan ke rumahnya setengah jam lebih cepat daripada biasanya. Galih menenteng kantong plastik nasi goreng yang tadi ia beli, lantas meletakkannya di atas meja makan. Berharap bisa menemukan keberadaan Sita di sana. Namun nihil.

"Sita!" Galih membuka jaket kulitnya lalu menyandarkanya di kursi makan. Menggulung lengan kemeja hitamnya sampai batas siku sembari memanggil Sita dengan teriakan ber-volume sedang. "Sita, apa kamu di kamar?" Galih mengetuk pintu kamar Sita, dan sayangnya ia tidak mendapat sahutan apa pun.

Ia berinisiatif membuka pintu tersebut tanpa izin, lagi-lagi ia tidak menemukan Sita di dalam sana. Kecuali boks raksasa Andien yang serba putih, menimangi putrinya dengan kenyamanan tiada tara.

Galih berjalan menuju pintu kamar mandi. Mengecek, barangkali Sita ada di dalam sana. "Sita, kamu di dalam? Aku udah beliin nasi gorengnya, Keluarlah, kita makan sama-sama." Galih menunggu jawaban, tapi tetap hening. "Sita?" Ia mengetuk pintu itu lagi sampai berulang kali, namun tetap tidak ada suara apa pun.

Alhasil ia memutar kenop pintu dan menemukan Sita yang sedang membenamkan dirinya di bathub. Kedua matanya terpejam. Seluruh badannya tertutupi oleh busa sabun, menyisakan leher hingga ujung kepalanya yang tampak. Galih berasumsi, apa yang terjadi pada Sita hingga ia tidak bisa mendengar teriakannya sedari tadi. Rasa kekhawatirannya membuat ia nekat mendekati Sita. Menyelidiki lebih dekat.

Tangan kanannya berpegang pada tepi buthub, sementara tangan kirinya menepuk pipi Sita pelan. "Sita, bangun. Apa kamu tidur? Hei!" Belum ada respon apa pun. "Sita, kamu kenapa? Hei, bangunlah, jangan bikin aku takut!" Kecemasan Galih semakin bertambah, ia mencoba menyentuh leher belakang Sita bermaksud membangkitkannya. "Sita!"

Sontak kedua mata Sita terbuka tiba-tiba. Betapa terkejutnya ia hingga membuat perlawanan pada kedua tangan Galih.

"Oh my God!" Tangan kanan Galih tak sengaja tertepis dan membuat seluruh tubuhnya tercebur ke dalam buthub. Wajah Galih mendarat tepat di atas dada Sita. Basah. Dingin dan—kini mereka sudah berada dalam satu wadah.

"Ya ampun, Galih! Maaf, aku nggak sengaja."

Galih mengangkat wajah lantas membasuhnya dengan tangan. "Kamu bikin aku takut, kupikir terjadi apa-apa sama kamu, habisnya dari tadi dipanggil kamu nggak ada sahutan sama sekali." Napasnya sedikit tersengal. Sepuluh mili liter air sabun barangkali sudah tertelan.

"Aku ketiduran," jawabnya singkat. Menunjukkan wajah polos pada Galih yang belum juga beranjak dari bathubnya.

Terakhir kali Galih melihat tubuh naked istrinya sekilas, itu saja sudah membuatnya berdebar-debar. Dan kali ini, ia dihidangkan bongkahan dada Sita yang membuat jantungnya tidak bisa memompa darah dengan normal. Dadanya berdesir dan pandangan mata mereka membuat perumpamaan yang menjelajah naluri mereka masing-masing.

"Apa kamu sering mandi malam-malam begini?" tanya Galih.

Sita mengangguk. Membetulkan gelungan rambutnya yang hampir lepas.

"Sometimes," jawabnya singkat. Ia menggigit bibirnya, berusaha menutupi kegugupan dari tatapan mata Galih yang belum juga lekang. "Galih, jangan melihatku begitu. Kamu bikin jantungku deg-degan. Ayo, kita keluar dari sini."

Galih bangkit, gemercik air mengucur bersama bajunya yang basah. Ia membuka kancing bajunya satu per satu, menampakkan dada bidangnya yang atletis lantas memeras kemejanya itu kuat-kuat.

"Kenapa kamu masih di situ?" tanya Galih pada Sita yang masih menenggelamkan tubuhnya di dalam busa sabun yang hampir berkurang, memandanginya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

"Nanti wajahmu memerah lagi kalau liat aku keluar dari sini," ujar Sita malu-malu.

Galih mengulurkan tangan kanannya menawarkan bantuan. "Ayo, bangkitlah." Sita agak ragu, tapi perlakuan suaminya itu membuat jantungnya tidak bisa berhenti deg-degan. Akhirnya ia pun keluar dari bathub, membiarkan air mengalir seperti air terjun, menyisakan busa-busa sabun di tubuh juga wajahnya.

Ya ampun, Galih lebih gugup dari terakhir kali ia melihat Sita naked. Sesuatu menuntutnya untuk melakukan sesuatu. Kemudian, hampir secara naluriah, ia meremas tangan Sita, masuk ke celah-celah jarinya. Dan mendekatkan wajahnya. Harum aroma mawar meruak, masuk kedalam pernapasannya yang menderu.

"Ka ... kamu ... bolehkah jika malam ini...?" suara Galih terbata-bata.

Ia menatap Sita intens. Menyingkirkan busa yang menempel di dagu Sita. Sungguh, ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Ia tahu ini memalukan, tapi wanita yang berada beberapa senti dengannya saat ini adalah istrinya. Tak akan mengapa dan tak akan pernah berdosa bila ia meminta sesuatu yang sudah menjadi hal lumrah.

Sita mengerjap-ngerjapkan matanya. Menggigit bibirnya lantaran gugup. "Apa kamu serius?" Galih mengangguk tak sabar. "Aku ... takut, Gal, ya ampun, dari tadi jantungku berdetak terlalu cepat."

"Sama, aku juga begitu. Setidaknya kita harus mencoba, 'kan? Udah dua tahun kita bersuami istri, tapi belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku ... kali ini ...."

Sita menangkap bibir Galih dengan bibirnya cepat. Tidak membiarkan laki-laki itu melanjutkan kalimat apa pun. Nalurinya sebagai wanita penggairah tiba-tiba saja muncul. Dulu, sebelum ia menikah dengan Galih, Sita adalah tipe perempuan penggairah dan selalu melakukannya pada hampir semua pria yang ia kencani. Entah bagaimana, tabiat itu muncul kembali.

Galih mendorong tubuh Sita hingga menempel pada dinding. Bibir mereka belum bisa lepas, sementara kedua mata mereka tak ingin terbuka. Sita tersenyum di balik bibir Galih, napas mereka saling menderu.

Ia pemain yang handal ternyata, ujar Sita dalam hati. Kini kedua tangannya merangkul leher Galih, jari-jarinya menelisik ke dalam rambut Galih yang basah. Pria itu menekan tubuhnya hingga membuat punggungnya menempel erat pada dinding kamar mandi.

"Galih, cukup." Sita terpaksa menghentikan kegiatannya dan mendapat tatapan penuh tanya dari Galih. "Bawa aku keluar dari sini, dan carilah tempat terbaik untuk kita."

Galih pun menyeringai. Ia membopong tubuh Sita yang belum tertutup kain sehelai pun. Membawanya keluar kamar mandi lalu menjatuhkan istrinya ke atas kasur. Dengan cepat tangannya membuka belt hingga tak menyisakan apa pun di tubuhnya.


Oh iya, just info jika kalian ingin membaca cerita ini langsung tamat, bisa akses ke Karyakarsa ya, di sana CBJ sudah dipublish hingga tamat 🥰
Terima kasih karena sudah mengikuti CBJ

Cinta Butuh JeraWhere stories live. Discover now