Chap - 15

650 82 42
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Anis memandangi dirinya sendiri di depan cermin. Tidak banyak yang berubah pada dirinya kecuali perasaanya saat ini. Ia tidak bisa mengategorikan pertemuan tak sengaja kemarin dengan situasi atau masalah apa pun. Atau mungkin saja, ya ini pasti masalah baru. Anis yakin Galih tidak mungkin membiarkannya bebas berkeliaran begitu saja setelah melihat dirinya berdiri dengan wajah yang sangat sehat, fisik yang tidak berubah dan dengan kemunculan yang secara tiba-tiba. Anis yakin Galih pasti akan melakukan sesuatu untuk menemukan dirinya.

Dan saat itu tiba, Anis harus bisa berusaha menghindar bagaimanapun caranya. Agar luka itu tidak terkorek kembali, agar usahanya mengubur kenangan lama selama ini tidak sia-sia hanya karena pertemuan lima detik itu, tapi ke mana? Ke mana Anis harus pergi?

Bahkan ia hampir tidak berani keluar rumah untuk pergi bekerja. Kenyataanya, dua jam kemudian Anis sudah berhenti di parkiran motor tempat ia bekerja. Membuka helm dan jaketnya lalu menyimpan semua perlengkapan itu di bawah jok motor. Anis memanfaatkan kaca spionnya untuk bercermin, memeriksa matanya yang sejak tadi serasa ada yang mengganggu. Meski hanya bulu mata. Tidak. Ada sesuatu yang lebih mengganjal di dalam cermin kecil itu. Seseorang berdiri di belakangnya. Memandanginya dengan wajah penuh tanya.

Anis menoleh terkejut. "Galih?"

Pria itu sudah ada disitu sejak lama. Menunggunya di parkiran ternyata cara yang sangat manjur. "Aku nggak percaya ini." Wajah Galih semringah. Anis bermaksud menghindar pergi, tapi Galih menahan lengannya. "Tunggu, Nis. Kita harus bicara."

Anis menunjukkan wajah penuh kebencian pada pria itu. "Bicara apa, Gal? Nggak ada apa-apa lagi di antara kita yang perlu dibicarakan." Anis menarik paksa tangannya sendiri.

"Jangan membuatku terus merasa bersalah, Nis. Hingga detik ini aku belum bisa melupakanmu."

"Kamu memang bersalah. Nggak ada yang bisa disalahkan selain kamu!" Anis mengelak pergi, tetapi lagi-lagi gagal karena Galih berhasil menahannya lagi. "Lepasin, Galih. Jangan ganggu aku."

"Apa udah nggak ada lagi rasa cinta di hatimu untukku?" Mata pria di hadapannya, menyiratkan rasa bersalah yang sangat besar terhadap Anis. Dan itu membuat Anis sedikit iba, tetapi tetap menggunduk di dalam hati. "Apa kamu nggak tahu setiap saat aku selalu mengutuk diriku sendiri karena telah membuatmu menghilang?"

"Please, jangan buat aku teringat hal menyakitkan itu lagi." Ada setitik air mata hampir jatuh di sudut mata Anis. Ia tidak ingin usaha melupakan Galih selama dua tahun ini menjadi sia-sia hanya karena kehadiran pria itu kembali. "Kenapa kamu nggak menghilang aja dari kehidupanku seperti apa yang udah aku lakuin untuk kamu."

"Anis, aku ingin meminta maaf. Kalimat itu yang selalu ingin kusampaikan padamu."

Anis menarik napasnya, menyesuaikan udara di kerongkongannya agar tidak tercekat dan tampak lemah di hadapan Galih. "Kamu sudah mengatakannya. Sekarang pergilah. Biarin aku dengan kehidupanku, dan kamu dengan kehidupanmu." Tangannya yang sedari tadi tergenggam kuat oleh Galih belum juga melonggar. Sama juga dengan mata Galih yang urung beralih dari sorotan memohon. "Kamu sudah cukup menyakitiku, Gal. Kumohon pergilah."

"Mungkin aku tampak egois bagimu. Tapi aku nggak mau melepaskanmu karena akan sangat sulit menemukanmu lagi." Tampaknya Galih sudah berubah menjadi psikopat sekarang. Tindakan itu membuat Anis semakin cemas. Pria itu terlihat agresif.

"Kamu memang egois!" Anis bersuara keras hingga setiap orang yang melewati mereka berlalu ngerih tak ingin terlibat.

"Aku masih mencintaimu, Nis."

"Sadarlah, Galih! Kamu sudah punya istri dan anak. Untuk apa kamu menemuiku lagi dan mengatakan masih mencintaiku? Ke mana aja kamu waktu aku hampir mati akibat perbuatan biadab calon suami dan sahabatku sendiri? Apa kalian nggak malu? Sudah berzina di balik punggungku?"

Air mata Anis tumpah seketika. Bibirnya bergetar hampir tidak bisa diam. Namun, apa yang dilontarkannya barusan, ternyata mampu membuat genggaman itu melonggar dan akhirnya terbebas. Galih memang pantas mendapatkan delapan puluh persen amarah Anis dan mungkin bisa menjadi seratus persen jika Galih masih memaksanya.

Mereka berdiri mematung seperti manekin. Kata-kata Anis membuat Galih tidak mampu membalas serangan yang menusuk hatinya. Dia bahkan masih tetap berdiri di situ saat Anis menyalakan motornya bermaksud untuk pergi. Lebih baik ia pulang, karena jika ia melanjutkan bekerja dalam keadaan seperti itu, semuanya pasti akan kacau.

"Jangan pergi, Nis." Galih membujuk. Tapi Anis tidak peduli dan tetap menyalakan motor maticnya dalam keadaan wajah masih bersimbah air mata. "Anis aku bisa memperbaiki ini semua. aku tahu kamu masih mencintaiku. Setidaknya bersikap baiklah padaku."

"Aku BENCI semua tentang kamu!" Anis pun pergi, meninggalkan kalimat terakhir yang terus terngiang di telinga Galih meskipun perempuan itu telah jauh dari pandangannya. Menghilang lagi. Itu artinya, Galih harus berusaha lebih keras untuk bisa memenangkan hati Anis kembali.

***

"Oke, sip, bungkus!"

Sesi pemotretan sudah selesai. Sita berlari pada putrinya, di depan layar hijau bersama Almira yang menggendong Andien. Putrinya itu tampak sangat ceria saat Almira menggelitiki perutnya dengan ciuman gemas. Tawanya menyeruak hingga membuat semua kru berebutan ingin menggendongnya. Ditambah dengan pipi gempalnya yang tidak dapat disembunyikan, Andien mendadak jadi piala bergilir.

"Nih bayik lucu kali sihhh ...." Almira mencium pipi Andien. Berbicara dengan logat Sumatera. "Andien ini pinter ya, Kak. Disuruh foto gaya gini gitu nurut aja."

"Mama ...." Andien mengulurkan tangannya, dengan senang hati Sita menangkapnya dari tangan Almira.

"Kalau Andien ini, dikuwel-kuwel gimanapun pasti nurut." Almira, si gadis berbakat yang tampak bangga mengenakan jersey downhill-nya mencubit pipi Andien. "Nanti kalau udah besar jadi cewek tangguh kaya Tante Almira ya, Nak," ujar Sita.

Almira tertawa ringan sambil mengambil tas ranselnya. "Andien pasti bakal jauhh ... lebih hebat dari Tante." Andien tertawa, dengan senang hati menunjukkan empat gigi seri pertamanya.

"Nouvie apa kabar?" tanya Sita pada Almira. Kabar terakhir yang di dengar bahwa teman semasa SMA-nya itu sedang sibuk mengurus perceraian dengan suaminya.

"Masih sibuk mondar-mandir urus perceraian," Wajah Almira tampak ketus. "Tapi mungkin hari minggu nanti dia bakal datang ke Jakarta untuk mendampingiku bertanding."

Sita mengelus punggung Andien yang tampaknya sudah mulai mengantuk. "Kakak kangen banget sama Nouvie, udah dua tahun aku nggak ketemu."

"Kalau gitu, berjanjilah untuk datang ke pertandingan Almira nanti. Bawa Andien juga." Almira mengusap pucuk kepala Andien gemas. "Rara bakal seneng banget kalau Kak Sita mau datang. Itung-itung jadi supporter." Ia memasang wajah seolah berbisik.

"Ah, kamu ini. Tanpa supporter juga pasti bakalan menang. Mana mungkin seorang The Lady Hammer kalah dengan gampangnya." Yang menerima pujian hanya bisa cengengesan. "Kakak pasti akan datang, Cantik."

"Rara tunggu. Dan Rara pasti bakal marah banget kalau Kak Sita nggak dateng." Mereka membuat cipika-cipiki tanda pertemuan telah usai dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.


Bagi yang nggak mau nunggu lama kelanjutan cerita ini, silakan lanjut ke KARYAKARSA, sebab di sana sudah dipublish sampai bab 40-an. Terima kasih sebelumnya atas apresiasi pembaca semua.


Cinta Butuh JeraWhere stories live. Discover now