"Kau suka dengan anak laki-laki itu?" tanya Hani yang membuatku mengerutkan kening.

"Eh, siapa?"

"Yang kau peluk waktu itu," jawabnya.

Oh ya, aku ingat jika Hani melihatku berpelukan dengan Darma di hutan ini. Aku harus menjawab apa, ya?

"Aku tidak perlu menjawabnya, kan?" tanyaku. "Yang jelas, kami berdua masih berteman," jawabnya.

"Aku hanya khawatir," kata dia.

"Khawatir kenapa?" tanyaku.

"Aku tidak perlu menjawab, kan?" dia membalas dengan perkataan yang sama seperti sebelumnya.

Aku tidak merespons lagi. Aku masih bingung. Kenapa aku justru bersama Hani?

"Kau yakin jika adikmu diculik oleh penghuni rumah itu, kan?" tanya Hani.

"Aku hanya melakukan apa yang seorang Kakak lakukan, jika pun harus menembus hutan malam-malam, itu tidak menjadi soal," jawabku.

"Kau sangat menyayanginya, ya?" tanya Hani lagi.

Aku mengangguk. Lalu, aku menyunggingkan senyum kecil. "Sekarang, kau banyak bicara, ya."

Dia membalasku dengan tertawa lirih.

Perjalanan ini tidak seperti yang kubayangkan sebelumnya, kupikir akan penuh rintangan, aku akan menemukan hal-hal menyeramkan. Ternyata, sekarang aku justru berjalan berdua, mengobrol dengan Hani. Kami membicarakan tentang banyak hal. Seperti tontonan televisi, majalah yang kami baca; Kawanku, Gadis, ataupun Aneka. Kemudian dia menjelaskan hobinya yang suka menggambar, aku juga mengatakan jika ayahku suka melukis. Dalam waktu singkat, kami berdua seperti teman.

"Ini batunya," kataku saat menemukan sebuah batu besar berbentuk seperti kepala anjing.

"Aku sudah tahu di mana tempatnya, tidak perlu pedulikan peta itu," kata Hani yang kembali berjalan.

Alih-alih ke arah moncong anjing itu, Hani justru memilih jalan yang lurus. Walau ragu, aku tetap mengikuti Hani.

"Kau benar-benar tahu, kan?" tanyaku.

"Percaya saja," kata dia.

"Eh lihat, di situ ada garis polisi," ujarku saat melihat garis polisi mengelilingi sebuah area dengan beberapa pohon di dalam area itu.

Hani tidak menggubrisku. "Tidak lama lagi, kita akan sampai," kata dia yang kusadari sudah belasan meter di depanku.

"Tunggu, Hani!" panggilku yang akhirnya melangkah lebih cepat.

Benar juga, sekitar sepuluh menit berjalan. Kami menemukannya, sebuah rumah kayu tua yang sudah terbengkalai, ditumbuhi lumut dan tumbuh-tumbuhan merayap. Pepohonan berjarak lebih jauh dari sekitar rumah itu sehingga menciptakan sebuah halaman yang cukup luas di depannya.

Cahaya bulan begitu terang di halaman ini, tidak ada dedaunan di atasnya sehingga kami berdua berasa tersirami oleh sinar rembulan.

"Aku akan pergi," kata Hani.

"Kita pulang bersama," kataku yang mencoba membuatnya tetap bersamaku.

"Panggil saja namanya, dia pasti akan muncul. Kau pasti sudah hafal jalan pulang. Aku pergi dulu," kata Hani yang kemudian berlari masuk kembali ke rimbunnya pepohonan hutan.

Aku tidak bisa mencegahnya, tetapi aku melupakan suatu hal yang sangat penting. Oh ya, aku belum berterima kasih padanya!

"Hani terima kasih!" teriakku saat melihatnya sudah tampak jauh.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang