Bagian 02

17.3K 2.1K 347
                                    

Dedarah
Bagian 02

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Mengikuti orang lain atau berusaha menjadi berbeda adalah hal yang sama. Sama-sama tidak akan menimbulkan kepuasan.

○●○

Siapa yang lagi puasa hayo?

Jam berapa kalian membaca cerita ini?

○●○

"Soal itu sangat mudah, ya?" tanya seorang perempuan berwajah cantik dengan rambut bobnya yang berdiri memperhatikanku mengerjakan soal.

Aku tampak canggung. "Kurasa aku perlu bahan soal-soal untuk olimpiade matematika tingkat nasional tahun kemarin. Apa Bu Nikma punya?"

Bu Nikma mengelus rambutku. "Belum, tapi Ibu bakal carikan untukmu. Kita masih punya waktu lebih dari sebulan. Untuk sementara, kerjakan soal tingkat kabupatennya dulu saja ya. Besok, Ibu buatkan soal yang mirip-mirip dengan yang tingkat nasional."

"Baik, Bu," jawabku.

Aku kemudian kembali fokus ke soal-soal di meja yang cukup berantakan ini. Mewakili sekolah untuk ikut lomba semacam ini memang sudah biasa kulakukan. Aku cukup senang. Karena hal semacam ini membuatku menjauh dari siswa lain.

Bu Nikma duduk di sampingku. Dia tampak sedikit gelisah. Mungkin dia memiliki banyak masalah yang tidak kutahu. Namun, sejauh ingatanku dia pernah gagal menikah. Menyebut soal kecantikan, hal itu juga tampaknya tak terlalu berguna bagi Bu Nikma. Di usianya yang hampir tiga puluh, dia belum menikah. Pasti banyak orang yang membicarakan statusnya.

Dia memperhatikan soal-soal yang sudah selesai aku kerjakan. "Sebenarnya, Ibu bingung lho disuruh bimbing kamu. Sepertinya Ibu sama Rema pintaran Rema, ya," pujinya yang kemudian tertawa hangat.

"Tidak juga," jawabku yang kemudian berpura-pura meneliti soal lain lagi. "Ini bagaimana Bu?"

Bu Nikma memperhatikan soal yang kutunjukkan. "Jumlah kemungkinan persegi yang tidak kongruen yang dapat dibentuk dari titik-titik ini, ya?"

Aku mengangguk.

"Rema. Jangan pura-pura bertanya deh. Kamu kan tahu hasilnya," kata Bu Nikma seraya menatapku dengan curiga, tetapi bibirnya tersenyum.

Aku tertawa malu. Aku memang pura-pura bertanya agar Bu Nikma berhenti mengatakan bahwa aku lebih pintar darinya. Bukannya guru yang mengatakan seperti itu adalah guru yang kurang profesional. Maksudku mungkin jika kami tes IQ, aku yakin hasil tesku lebih baik darinya. Namun, itu bukan tolak ukur kepintaran. Kurasa pintar lebih dari sekadar IQ, banyaknya ilmu yang bisa digunakan sebaik-baiknya, kemampuan belajar dari pengalaman, kemampuan menyelesaikan berbagai masalah, dan kreativitas juga termasuk dalam kepintaran.

"Ibu tinggal dulu ya," ujarnya yang kemudian meninggalkanku di salah satu ruang di perpustakaan ini, sendiri.

Aku menutup buku saat sosok Bu Nikma tak bisa kulihat lagi. Aku kembali memikirkan kejadian di kelas. Surat yang isinya aneh itu mengusikku. Lalu, Hani. Dia melihatku memakai inhaler. Apa dia akan mengatakan pada orang-orang tentang itu? Aku tertawa getir menyadari bahwa tak akan ada yang bicara padanya, apalagi mempercayai omongannya.

Kau mungkin akan merasa sangat takut, sedih, dan marah. Namun, kau akan akan baik-baik saja.

Apa maksud dari kata-kata itu? Teori Gilang bahwa akan ada yang melakukan hal gila—pelecehan seksual—terhadapku tidak akan aku percaya. Tiga orang pernah dibakar masa saat ketahuan memperkosa gadis di hutan tahun lalu. Sangat bodoh jika ada yang ingin melakukan hal serupa.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang