Aku mengelap tangisanku. Keadaan ini benar-benar menyesakkan batinku. Bagaimana bisa aku harus bertahan dengan semua ini? Ibu benar-benar tengah terguncang. Melihatnya menyalahkan diri sendiri, membuatku begitu tertekan. Apa Tuhan benar-benar menyayangi kami? Kehilangan Ayah sudah cukup membuatku meragukan hal itu, jika Rajo juga tak akan pernah kembali. Aku sudah tidak mengerti lagi.

Menatap ke bulan yang bersinar terang itu, aku masih menyisakan setitik harapan. Aku akan menemukan Mayang. Aku tidak akan menunggu hingga malam Jumat saat dia memenuiku. Aku yang akan menemuinya.

Saat ingin masuk ke rumah, aku memikirkan tentang kata Darma sore ini. Siapa orang yang paling dia curigai itu? Kenapa dia tidak mengatakannya padaku. Terlintas sebuah pemikiran gila. Dia tidak menyalahkanku, dia menyalahkan dirinya sendiri, bahkan sebelum semua itu dia berubah menjadi sangat baik. Aku masuk ke ruang tengah, melihat piano hitam yang sangat mahal ini. Mungkinkah pelakunya orang yang membelikan piano ini untukku? Aku langsung menggeleng, itu benar-benar gila. Mencoba menghancurkan pikiran gilaku, aku menuju kamar Rajo.

Malam ini, aku akan tidur di kamar Rajo, memeluk gulingnya dan membaringkan kepalaku ke bantalnya. Dalam keadaan batuk dan flu ini, aku mencoba menyamankan posisi tidurku. Aku berjanji untuk membawanya pulang kembali. Aku benar-benar merindukannya. Apa yang akan dikatakan Ayah jika aku telah gagal menjaga adikku?

Dulu, saat Rajo masih belum genap dua tahun. Aku membantu Ayah mengajari Rajo berjalan. Aku melepaskan Rajo yang sudah berdiri, kusuruh dia untuk berjalan ke arah Ayah. Berkali-kali, Rajo hampir jatuh. Aku terus mencoba membuatnya bangkit lagi, kembali ke titik start. Akan tetapi, Ayah mengatakan padaku kalau aku harus membiarkan Rajo jatuh agar dia merasakan bagaimana bangkit sendiri dan terus dapat berjalan.

Aku sudah jatuh saat Ayah meninggal, saat aku merasa Ibu tidak peduli dengan aku dan Rajo, saat aku masuk rumah sakit karena asmaku, saat aku merasa semua orang membenciku, saat aku terkena kutukan ini, dan sekarang saat Rajo menghilang karena kesalahanku. Berkali-kali aku jatuh, aku harus bangkit lagi. Di dalam hati, aku bertekad untuk melakukan itu. Bangkit.


Hari ini, Ibu memutuskan untuk kembali ke kota, mengurus rukonya. Dia bilang, walau sedang berkabung, hidup harus tetap berjalan. Aku juga disuruh untuk segera masuk sekolah lagi. Aku mengiyakan kata-katanya. Aku akan berangkat sekolah hari Senin.

Walau masih flu dan batuk, tetapi sekarang sudah jauh lebih baik dari kemarin. Aku sudah cukup segar. Aku gunakan waktuku di rumah kali ini untuk bersih-bersih. Aku menyapu, mengepel, mencuci pakaian yang sudah menumpuk di bak.

Saat berada di ujung lorong dengan tangga yang menuju ke lantai dua. Aku mulai ragu. Apakah aku perlu membersihkan lantai atas juga? Kurasa, Ayah ingin tempatnya bersih juga. Akhirnya, aku memberanikan diri membawa sapu, menaiki tangga ke lantai dua.

Aku mengatur napasku, melihat apa yang ada di depanku membuatku sangat rindu dengan Ayah. Di sini, ada banyak lukisan. Selain menjadi pemusik, Ayah juga suka melukis, terkadang dia melakukannya berdasarkan pesanan. Penghasilannya memang sangat menentu. Dulu, saat aku kecil Ibu dan Ayah sering bertengkar, kebanyakan masalahnya tentang uang.

Lukisan pemandangan, lukisan wanita—mirip Ibu, lukisan keadaan di pasar, lukisan hutan, bahkan ada juga lukisan yang abstrak. Semuanya tampak indah. Di dekat jendela, biasanya dia melukis. Peralatan lukisnya masih ada di situ.

Ada ruangan kecil untuk solat, walau kecil ruangan ini cukup untuk solat empat sampai lima orang. Berbeda dengan Ibu, Ayah cukup rajin solat. Namun, dia hampir tidak pernah mengajakku solat bersama apalagi setelah Rajo lahir.

Menyandarkan sapu ke dinding, aku menuju ke kamar Ayah. Aku membukanya, merasakan hawa yang aneh saat memasukinya. Aku seperti sedang kembali ke masa lalu, ketika aku kecil mengganggu Ayah, memintanya untuk bangun dan mengantarkanku ke sekolah.

Di meja, aku melihat sebuah kamera. Ayah memang menyuaki seni, fotografi juga seni. Biasanya, sebelum melukis dia akan memotret dulu dan potretnya kemudian dia patokan untuk melukis. Di samping kamera, aku menemukan setumpuk potret.

Ada foto-foto pemandangan, foto rumah ini, foto pasar—sangat mirip dengan yang dia lukis. Lalu, aku menemukan fotoku saat kecil, aku juga menemukan foto Ibu saat hamil. Perutnya sangat besar. Aku juga menemukan foto bayi kecil Rajo saat baru lahir. Lalu, ada fotoku mengemban Rajo. Aku berhenti melihat foto-foto ini karena merasakan mataku yang mulai sembab dan ingin menangis.


Pencarian akan dimulai. Aku memasukkan tujuh helai rambutku yang kukumpulkan dari rambut yang rontok di atas bantal ke plastik transparan. Aku memakai jaket, celana jins, memakai sepatu, membawa inhalerku, senter, dan juga sebuah gunting.

Berbekal peta dari Pak Salman, aku akan melakukan petualangan kecil mencari rumah Mayang yang masuk jauh ke hutan. Peta ini sebenarnya tidak begitu sulit dimengerti. Walau peta ini digambar puluhan tahun lalu dan hutan sudah cukup banyak berubah, tetapi kurasa petunjuk-petunjuk di peta ini tetap masih ada.

Ikuti jalan setapak, saat sampai di batu besar berbentuk seperti kepala anjing, berjalan ke arah yang ditunjukan moncongnya, rumah itu berada di tak jauh dari sebuah pohon beringin besar. Hanya itu saja. Terlihat simpel, tetapi tampaknya aku akan mendapatkan rintangan untuk menemukan rumah itu.

Dari jam lima sore, aku sudah mengayuh sepeda ke hutan. Lalu, aku memarkirkan sepedaku agak masuk ke dalam hutan, mengikatnya ke pohon. Setelahnya, aku segera mulai berjalan ke dalam hutan. Aku tahu letak jalan setapak itu.

Harusnya, aku mengajak Darma ke sini. Namun, aku rasa dia tidak akan menyetujui kenekatanku. Jadi, aku lebih baik melakukan ini sendiri. Setelah kau mengunjungiku tiga kali. Sekarang, giliranku yang mengunjungimu Mayang.

Jalan setapak sudah kutemukan, aku berjalan mengikuti jalan ini. Karena keadaan hutan sudah mulai gelap, aku segera menyalakan senter. Aku baru memberi baterai baru, jadi tidak ada acara baterai habis di tengah jalan.

Masih menyusuri jalan setapak, aku mulai merasakan hawa dingin. Suara serangga menemaniku berjalan. Namun, temanku yang sesungguhnya ada di atas. Bulan purnama yang sempurna menyinariku walau terhalang rimbunnya dedaunan.

"Rema," tiba-tiba ada yang memanggilku.

Sontak, aku berhenti. Menyorot lampu ke berbagai arah. Tidak ada siapa pun.

"Rema," panggil dia lagi.

Aku bungkam, mematung. Gemetaran. Suara itu benar-benar nyata. Dari mana datangnya? Tenggukku seperti ditusuk tombak yang beku, hawa dingin masuk ke tubuhku, menyebar membuatku menjadi merinding.

"Aku di belakangmu," suara itu lagi.

Dengan pelan, melawan rasa takut. Aku menoleh ke belakang. Seorang perempuan dengan pakaian pramuka berdiri tidak jauh dariku. Dia tersenyum. Hani.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Apakah di part selanjutnya, Rajo berhasil ditemukan oleh Rema?

3. Cerita ini menggunakan bahasa dialog yang cenderung baku karena tidak ingin menunjukkan tempat spesifik yang menjadi latar cerita. Kalau menurut kalian, lebih suka cerita dengan tokoh yang berdialog dengan bahasa gaul yang sesuai dengan keadaan, atau lebih suka yang baku?

Siapa yang pengin lanjut? Comment: I'm Groot!

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kesempatan keliling istana Nyi Roro Kidul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kesempatan keliling istana Nyi Roro Kidul.

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang