Aku menghela napas, lalu kembali membaca bukuku.
Tiba-tiba saja, aku merasa bahwa sebelah pundakku terasa berat. Kutolehkan kepalaku sedikit dan mendapati kepala Arlan Pratama sudah mendarat di bahuku.
Abaikan, abaikan, abaikan.
... Tarik napas, lepaskan. Tarik napas, lepaskan.
Bayangkan hal-hal yang menyenangkan; kedai es krim, padang bunga, toko kue, buku baru, hujan permen ....
Aku tidak bisa berkonsentrasi. Rasanya ingin anak itu segera bangun, tapi tidak tega.
Hanya lima belas menit. Tahan, Alenna.
Kubaca kembali buku yang ada di pangkuanku, berusaha mengabaikan apa yang terjadi di sekitarku dan hanya membayangkan kata-kata di buku.
Seharusnya lima belas menit tidak selama itu ...
Suara ponsel yang tidak kukenal, terdengar dekat denganku. Detik berikutnya, aku menyadari bahwa suara itu berasal dari tas milik Arlan Pratama yang ada di pangkuannya.
"Arlan, ada telepon."
Aku mengucapkannya sambil mengangkat buku yang ada di atas tasnya, dengan harapan agar suaranya semakin keras dan Arlan Pratama bisa mendengarkan. Namun Arlan Pratama tetap tidak terbangun dari tidurnya.
Kutepuk-tepuk tangannya berulang kali dan akhirnya kali ini membuahkan hasil. Arlan Pratama akhirnya membuka matanya.
"Ada yang telepon," ucapku sambil menunjuk ponselnya.
Seperkian detik kemudian, Arlan Pratama buru-buru menegakkan duduknya, "Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
"Jadi siapa yang membangunkanmu barusan?" tanyaku heran.
"Sorry, ya, aku nggak bisa tidur kemarin malam. Jadi...."
"Itu teleponnya dijawab dulu," potongku.
Arlan Pratama buru-buru mengeluarkan ponselnya, aku tanpa sengaja melihat siapa yang meneleponnya dan ternyata itu adalah nomor yang tidak dikenal. Namun Arlan Pratama tetap mengangkatnya tanpa ragu.
"Halo, Ma?"
Ibunya? Itu aneh ... Arlan Pratama tidak menambahkan ibunya sendiri dalam kontaknya.
Aku memutuskan untuk kembali pada bacaanku, karena kali ini aku sudah bisa berkonsentrasi tanpa Arlan Pratama yang tertidur di bahuku. Namun perkataan Arlan Pratama selanjutnya, membuatku kembali tidak berkonsentrasi.
"Siapa nama calonnya?"
... Eh, apa?
"Aku nggak pernah dengar namanya," balas Arlan Pratama pelan. "Nggak pernah lihat fotonya juga. Jadi, aku nggak perlu ngomong sama dia, kan?"
Arlan Pratama tiba-tiba menoleh ke arahku, membuatku langsung membuang pandanganku ke arah jendela--walau itu sangat konyol, padahal aku sedang membaca bukuku.
"Aku dalam perjalanan pulang, nanti baru dilanjutkan lagi, ya." Arlan Pratama menjeda selama beberapa saat, "Iya, selamat ulang tahun untukku. Terima kasih karena sudah melahirkanku."
Selanjutnya, Arlan Pratama mematikan ponselnya.
"Kurasa tidak ada signal kemarin, jadi ibuku tidak bisa menghubungiku," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tidak terlalu mempedulikan ucapannya, kutawarkan biskuitku kepadanya.
"Mau?"
"Aku ingin tidur," katanya.
"Sebentar lagi kita sampai di tempat makan. Oh, dan tidak boleh tidur dengan lensa."
"Tidak boleh, kalau semalaman." Arlan Pratama menyandarkan tubuhnya pada sandaran belakang, lalu memejamkan matanya, "Aku mau tidur sebentar, kalau aku tidur di sana lagi, dorong saja kepalaku kuat-kuat."
Aku pura-pura membaca buku, "Kepala orang pintar tidak boleh digituin."
"Daripada nanti malah betah di sana," candanya. "Kalau nanti nyaman di sana, kamu bakal gimana?"
"Nggak malas ngomong lagi?" tanyaku, mengalihkan topik.
"Enggak, mood-ku sudah lebih baik."
Kusaksikan benang merah yang pelan-pelan memudar karena tidak ada komunikasi di antara kami. Arlan Pratama kembali terlelap, dan kurasa aku benar-benar harus membiarkannya tertidur hingga kami sampai di tempat makan itu.
***TBC***
14 Juni 2019, Jumat.
Cindyana's Note
Aku sangat senang karena komenan di chapter kemarin mencapai 980+, jadi jumlah kata di sini ada 2300+ wkwkwkw.
Sebenarnya aku agak tidak nyaman dengan chapter ini, karena aku merasa kalau kehidupan Arlan semakin gelap setiap Alenna tahu sesuatu soal Arlan.
Dan setiap menulis bagian kelam untuk Arlan, percayalah, aku sangat tidak enak. But the plot has to go on.
Di sini aku tidak sedang menggiring kalian untuk membenci Papa atau Mama Arlan, karena Alenna pun tidak menentukan apa yang harus dia lakukan.
Tapi tapi tapi, semakin kelam cerita Arlan, itu juga memberi pertanda bahwa klimaks akan datang sebentar lagi.
Aku bakal tebar-tebar clue lagi tentang apa yang akan terjadi di Red String. Buat yang peka pasti akan menyadarinya dan tidak akan kaget pas klimaks nanti. Yey.
See you on next chapter!
Cindyana
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Fourth Thread - "Sweet Words are Something Unreliable"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)