Aku merenung diam. Saat ini aku tidak tahu harus memihak kepada Ayah atau Ibu Arlan Pratama, jika seandainya aku berada di posisinya. Arlan Pratama pasti mengalami masa yang sulit. Aku tidak tahu kapan harus jujur tentang itu.
"Kamu harus berhenti melakukan hal-hal yang bisa merusak mata. Aku pernah bilang, menulis di kegelapan itu tidak baik untuk mata. Kamu balasannya malah begitu," ucapku kesal.
"Habisnya, kamu mulai berceramah kayak Mamaku," balasnya tanpa merasa bersalah. "Kalau aku nggak balas begitu, kamu pasti bakal jelasin teori-teori yang kamu tahu. Apalagi pas itu, pertama kalinya kamu pakai line."
"Ya, maaf, aku kan memang seperti itu," balasku pelan. "Dan satu lagi, kamu tetap hebat, tanpa atau dengan hal yang kamu pikir adalah kekuranganmu."
Arlan Pratama menaikkan sebelah alisnya, "Kamu mengutip darimana lagi, kata-kata mutiara kayak gitu?"
"Nggak penting dari mana!" balasku ketus. "Ngomong-ngomong, kamu harus bicara dengan mamamu soal ketidaknyamanan yang kamu rasakan. Kalau kamu mau bikin kacamata, aku bisa tanya ke Mama dimana tempat yang bagus, tapi kamu harus ngomong dulu ke mamamu."
Arlan Pratama terdiam selama beberapa saat, lalu tawanya meledak. "Oke. Kalau memang harus pakai kacamata, nanti bantuin aku pilih yang keren, ya."
Seperti itulah akhirnya percakapan kami semalam. Kuhela napasku sepanjangnya tanpa suara. Entah sudah berapa menit mataku meratapi tulisan di depanku, tetapi pikiranku sama sekali tidak fokus untuk mencerna apapun. Aku malah memikirkan hal yang sudah berlalu.
Kurasakan perutku agak lapar, membuatku teringat lagi kalau kami memang belum sarapan. Saat ini bus sedang dalam perjalanan membawa kami ke tempat makan yang sudah dipesan pihak sekolah dan belum tampak ada tanda-tanda kami akan sampai.
Kukeluarkan biskuit dari dalam tasku, membukanya, lalu memakan sekeping, sebelum aku teringat dengan Arlan Pratama di sebelahku.
"Arlan, kamu mau bisku--"
TUK.
Buku yang dipegang Arlan Pratama jatuh di pangkuannya. Setelah kuperhatikan selama beberapa detik, barulah kusadari bahwa anak itu sudah tertidur. Sepertinya bacaannya terlalu membosankan.
Aku memakan sekeping biskuit lagi, sampai akhirnya aku teringat sesuatu.
Eh, tunggu, memangnya boleh tidur dengan memakai lensa?
Kukeluarkan ponselku untuk mulai melakukan pencarian. Rata-rata yang keluar dari judulnya adalah tentang efek samping dan dampaknya.
Baiklah, ini agak menyeramkan. Sepertinya aku memang harus membangunkannya.
Kudekati dia dan mencolek bahunya, tetapi tidak ada reaksi yang berarti. Aku pun berbisik pelan di telinganya. "Arlan, bangun. Hati-hati infeksi mata, radang kornea, kebutaan ...."
Kubacakan semua risiko yang ada di internet agar Arlan Pratama bangun. Namun bukannya terbangun, sepertinya dia malah bermimpi buruk. Bisa terlihat jelas kalau alisnya bertaut dalam tidurnya.
"Kita akan sampai di tempat makan kurang lebih lima belas menit. Yang sudah lapar, sabar dulu, ya." Suara Bu Farah terdengar dari depan.
Tidak ada balasan yang berarti. Mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri, atau mungkin bahkan tidak mendengarnya sama sekali.
Kurasa tidak apa-apa kalau hanya lima belas menit ...
Alenna, tahan dirimu untuk tidak menyimpulkan semua yang sudah kamu baca tadi.
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Fourth Thread - "Sweet Words are Something Unreliable"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)