The Twenty Fourth Thread - "Sweet Words are Something Unreliable"

Start from the beginning
                                        

"Mau kubantu?" tawarku.

Arlan Pratama tertawa, "Enggak perlu. Aku sering dengar kalau mataku terlalu mengerikan. Orang-orang nggak akan kuat lihat mataku lama-lama."

Aku tersentak. Siapa yang mengatakan hal sekejam itu?

"Nanti terpesona," guraunya yang rasanya membuatku ingin membantah, tapi kurasa ini bukan momen yang pas. Karena sejujurnya, itu lebih melegakan daripada orang lain mengatakan hal buruk tentangnya.

Arlan Pratama meneteskan matanya dengan obat tetes, sementara tugasku adalah menyorotkan cahaya ke arah lain, agar pandangan Arlan Pratama lebih terang.

"Kamu nggak mau tanya kenapa aku selalu bawa obat tetes mata?" tanya Arlan Pratama yang membuatku mendesis dalam hati. Dia tahu bahwa aku pernah memeriksa isi dari kantong hitam yang pernah kubawa itu.

"Aku sudah memakai pertanyaanku," jawabku dengan suara kecil.

"Aku kan belum jawab," balasnya.

Itu membuatku tersadar akan sesuatu. Arlan Pratama tidak benar-benar ingin menjawab pertanyaan yang tadi. Mungkin, itu satu-satunya pertanyaan yang seharusnya tidak kutanyakan.

"Kalau begitu, kenapa kamu selalu bawa obat tetes? Lalu kenapa saat di lift, kamu tidak bilang kalau kamu punya?"

"Dua pertanyaan?" tanyanya.

"Itu pertanyaan bersambung," timpalku kesal. "Lagipula, kamu bohong. Wajar kalau aku bertanya soal itu."

"Aku tidak bohong, aku hanya tidak bilang."

"Sama saja."

"Oke ... Aku tidak bilang karena kamu sudah dengan baik hatinya menawarkan bantuan," jawabnya pada akhirnya.

Dan setelah kuingat-ingat, aku memang tidak pernah bertanya apakah Arlan Pratama memilikinya atau tidak. Juga, dia tidak pernah bilang bahwa dia tidak membawanya.

Kurasa itu memang hanya kesalahpahaman.

"Sebenarnya aku pakai lensa kontak," ucap Arlan Pratama. "Mataku ... agak bermasalah, sedikit."

Aku mengerjapkan mata, lalu menunjuk mataku dengan telunjuk. "Lensa yang itu?"

"Iya, bukan lensa yang kita pelajari di fisika."

Aku pernah dengar tentang salah satu kegunaan lensa kontak selain untuk memperindah warna mata belaka, ada juga yang menggunakannya sebagai pengganti kacamata. Kurasa zaman memang sudah canggih sekarang.

Kutatap dua bola mata berwarna coklat tua milik Arlan Pratama, lalu langsung mengalihkan pandangan secepatnya. Mungkin Arlan Pratama memang benar, matanya memang mengerikan untuk ditatap dalam waktu jangka panjang.

"Ng ... Nggak sakit?"

"Rasanya tidak sakit, tapi juga tidak nyaman. Sebenarnya aku juga tidak mau memakainya, tapi mamaku kurang suka jika aku menunjukkan kekuranganku terang-terangan. Jadi, aku tidak pernah memberitahu siapapun."

Aku hanya bisa mengerutkan keningku saat mendengarnya bercerita. Aku tidak tahu jika mama Arlan Pratama yang pernah mengajakku berbicara, mempunyai sifat seperti itu; menganggap hal umum sebagai kekurangan, membuat Arlan Pratama merasa seperti itu.

"Kekurangan?" tanyaku.

Arlan Pratama menganggukan kepala.

"Dulu malah beliau ingin aku melakukan operasi, tapi untungnya papaku tidak mengizinkan. Ngeri rasanya mendengar soal operasi, potong-potong saat masih kecil, apalagi di bagian mata."

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now