The Twenty Fourth Thread - "Sweet Words are Something Unreliable"

Start from the beginning
                                        

Aku menatap Arlan Pratama dengan alis berkerut, bingung dengan kata-katanya. Kutatap kembali ke Bu Farah yang kini diam selama beberapa saat, entah memikirkan apa.

"Kamu masih punya urusan keluarga, ya? Sudah agak lama, ya. Ibu harap semuanya segera selesai." Bu Farah kini berganti menatapku, "Kalau Alenna mau, nanti Ibu kirimkan soalnya via email. Arlan juga nanti bisa bantu kamu ngerjain dengan cara cepat."

Aku mengedipkan mataku berulang kali. Sepertinya Bu Farah juga menilai kalau perhitunganku memang kurang cepat.

"Oh iya, Bu, di belakang ada apa, ya?" tanya Arlan Pratama sambil berbalik ke belakang, yang membuat Bu Farah sadar dengan tujuan awalnya berjalan melewati kami.

"Ah, iya. Ada yang buka jendela buat manggil pengendara motor yang lewat. Itu kan mengganggu pengguna jalan. Ibu ke belakang dulu, ya."

Selanjutnya, Bu Farah benar-benar melewati kami. Secara bersamaan, kami menghela napas lega.

"Tolak aja kali, kalau nggak mau," ujar Arlan Pratama yang membuatku heran.

Memangnya darimana dia tahu aku tidak terlalu antusias dengan olimpiade matematika semester depan?

"Sayang sertifikatnya," gumamku menyayangkan.

"Pas SMA nanti juga bisa ngumpulin, kok," balas Arlan Pratama enteng. Dia kembali membaca bukunya setelah itu.

Matematika bukanlah pelajaran unggulanku. Aku kurang yakin, tapi Arlan Pratama sudah menolak tawaran itu di depan Bu Farah. Jika memang tidak ada kandidat, berarti Bu Farah harus mencari kandidat lain untuk ikut. Dan mungkin itu memang keputusan yang baik, karena aku juga harus fokus dengan ujian nasional tahun depan.

Kulirik Arlan Pratama. Dia masih sibuk membaca buku yang kupinjam. Dan kurasa dia tipe pembaca yang cepat, karena dia sudah menyelesaikan beberapa halaman dalam waktu yang singkat. Keseriusannya membuatku teringat dengan kejadian kemarin malam setelah aku menanyakan keadaannya.

"Eh? Maksudmu gimana?" Arlan Pratama bertanya dengan nada yang sangat heran.

Dalam keadaan gelap, aku tidak bisa melihat wajahnya. Itu sangat mengkhawatirkan, setidaknya bagiku. Saat aku hendak menjelaskan maksudku, Arlan Pratama kembali menjelaskan.

"Hmm ... Sebenarnya mataku agak sakit, sih, sepertinya gara-gara kelamaan di depan api unggun," balasnya.

Kuhela napasku, agak kecewa karena Arlan Pratama tidak menjawab pertanyaanku. "Nyalain flashlight-nya, aku tidak nyaman gelap-gelap begini."

"Nanti kalau ketahuan, gimana?"

Aku langsung merinding begitu mendengarnya, "K-ketahuan apanya? Kita tidak melakukan sesuatu yang ilegal dan melanggar aturan sekolah, kan? Atau jangan-jangan ada aturan yang tidak sengaja kulanggar?"

"Kita nggak melanggar aturan, kok. Aku hanya nggak mau ada yang tahu kalau mataku sakit," balasnya pendek.

Bingung dengan kata-katanya, kunyalakan flashlight dan langsung kusorot ke arahnya. Yang benar saja. Mata Arlan Pratama agak merah dan sepertinya sangat menyakitkan. Aku hampir mengira bahwa dia menangis, tapi hanya mata kanan-nya yang memerah dan kurasa dia memang tidak berbohong soal matanya yang sakit.

"Matamu merah sekali, kamu nggak apa-apa?" tanyaku untuk memastikan.

"Kamu udah tanya dua kali, lho," balasnya mengingatkan.

"Tapi kan, kamu belum jawab," balasku panik. "Sebentar, ya, aku ambil air minumku dulu."

"Aku bawa obat tetes mataku," ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dan ya, dia benar-benar membawanya.

LFS 2 - Red String [END]Where stories live. Discover now