[Little Fantasy Secret 2]
Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti.
Mendapat peringkat per...
Aku senang Arlan Pratama berpikir seperti itu tentang aku, tetapi aku bisa merasakan beberapa tatapan yang menatapku seperti tidak pantas. Aku juga sebenarnya tidak menyukai perhatian seperti itu, keadaan itu agak membuatku tidak nyaman.
Rania menyenggol lenganku dengan sikunya, "Well, Alenna, setidaknya sekarang kamu tahu kalau kamu tidak lagi di friendzone, tapi di penasehatzone," bisik Rania sambil terkekeh.
"Oh ya, dan juga selamat ulang tahun untuk teman kita, semoga makin berjaya dalam membawa nama baik sekolah dan semakin baik lagi."
Tepukan tangan terakhir terdengar lagi sebelum akhirnya kerumunan harus dibubarkan setelah pemadaman api unggun.
Di dalam tenda perempuan di kelas, mereka tidak henti-hentinya menanyakan banyak hal denganku seperti, apakah aku dan Arlan Pratama berteman baik atau sejenisnya. Tentu saja jawabanku hanyalah sekadar teman sekolah--entah mengapa aku yakin mereka juga akan sama hebohnya dengan Rania, jika aku menjawab kalau kamu tetanggaan.
Ada satu hal yang aku tahu sejak dulu; aku tidak familier jika harus tidur di tempat yang baru. Aku juga mengalami kendala yang sama, saat pertama kali pindah ke apartemen. Butuh seminggu bagiku untuk beradaptasi dan saat ini pun aku masih belum merasa ngantuk dan ingin beristirahat walaupun hari sudah makin larut.
Aku keluar dari tenda dan menyalakan flashlight dari ponselku. Masih ada beberapa orang yang berkeliling di seputaran bus, tenda, atau bahkan membuat kerumunan untuk berjalan bersama ke toilet umum.
Saat ini sudah hampir gelap sepenuhnya kalau saja tidak ada yang menyalakan flashlight dan kalau tidak ada bulan. Namun nyatanya bulan sedang dalam fase kuartel (bulan setengah purnama), entah kuartel berapa.
Ada yang menyinari belakang kepalaku dengan senter dan membuat bayangan di depanku. Aku berbalik dan menemukan cahaya terang. Aku tidak bisa melihat siapa yang melakukannya, karena itu aku membalas menyorotinya dengan senterku. Dan rupanya Arlan Pratama yang melakukannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku sambil mematikan senterku, karena nyatanya cahaya flashlight dari ponselnya jauh lebih terang dibandingkan milikku.
"Aku baru mau nanya hal yang sama," jawab Arlan Pratama. "Kamu ngapain jalan ke arah hutan?"
"Mau jalan-jalan sebentar. Aku tidak bisa tidur."
Arlan Pratama diam selama beberapa saat, "Hmm ... Kalau kamu tersesat gimana?"
"Aku udah hafal jalan, sih," balasku.
"Enggak, kalau misalnya kamu tersesat, kamu bakal ngapain?" tanya Arlan Pratama.
Saat ini dia menyorotiku dengan senter dan aku benar-benar merasa sedang berada dalam ruang introgasi.
"Cari jalan buat balik, lah. Kamu tanya apaan, sih?"
"Katanya, kalau kamu kesasar di pedalaman, terus tiba-tiba nemu jalan setapak yang sudah bagus, ada kemungkinan kamu bukan menemukan jalan kembali. Ada kemungkinan kamu berada di area terlarang ..."
Sontak bulu kudukku merinding karena perkataannya, "Ini udah malam! Kamu ngomong apaan, sih?"
"Siapa yang tahu kalau ada manusia pedalaman yang belum familier dengan--"
Aku langsung memotongnya, "Aku mengerti maksudmu. Kalau gitu, aku balik dulu ke tenda. Terima kasih udah mengingatka--"
"Lho? Kok malah balik? Aku bisa temenin, nih!"
Aku menghela napas, "Kalau kita berdua tersesat, sama saja."
"Setidaknya kamu tersesat dengan seseorang yang sudah lebih tua setahun dibandingkanmu, kan?"
Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku yakin dia sedang memasang ekspresi yang menyebalkan.
Kuulurkan tanganku ke arahnya, "Selamat ulang tahun."
Arlan Pratama menerima jabatan tanganku, "Padahal kamu yang ketemu aku duluan hari ini, tapi kamu yang ngomong paling terakhir."
Aku memasang wajah datar, "Aku kan tidak tahu."
"Kamu tidak pernah tanya," balasnya seolah menyindirku dengan jawaban yang kuberikan untuk Rania tadi.
"Iya, pokoknya selamat hari lahir. Wish you all the best," ucapku, masih berjabat tangan dengannya.
Arlan Pratama melepaskan jabatan tangannya, lalu mematikan flashlight-nya, membuatku langsung buru-buru menyalakan ponselku, tetapi Arlan Pratama lebih dulu bersuara.
"Kamu boleh tanya sekarang."
Aku mengerutkan kening, "Sekarang?"
"Iya."
Ternyata, berbicara dengannya tanpa melihat ekspresinya malah membuatku makin khawatir. Entah ekspresi apa yang dipasangnya sedaritadi.
Aku akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang memang ingin kupertanyakan sejak lama.
"Arlan, kamu ... tidak apa-apa, kan?"
***TBC***
4 Juni 2019
Cindyana's Note
Haloo! 2600 kata!
BTW aku beneran minta maaf, aku kepencet beneran pas mau nulis wkwkwkw. Hanya kucing depan rumah yang menjadi saksi bisu kepanikanku.
Semoga bisa menemani begadang, sahur, atau pagimu. Atau mungkin siang dan malammu, kalau kamu bacanya di masa itu.
Dan akibat sedang nge-bucin parah dengan ship ini, aku menggambarkan Arlan x Alenna dengan konsep Alenna in Arlanland.
Ini dia.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Background-nya comot dari bintang-bintang Air Train. Soalnya warnanya yang paling calm.
Tadinya mau gambar Arlan in Alennaland, tapi cerita Red String ini akan berfokus tentang bagaimana persepsi Alenna kepada Arlan, jadi mungkin Alenna in Arlanland udah bener kali ya.
Oke, sekian dulu, kawan-kawan semua!
Hari ini hari terakhir puasa, kan? SEMANGAT KAWAN! YOU CAN DO IT!