43. Future

1.1K 104 20
                                    

"Pagi Kak." 

"Pagi." seorang gadis dengan setelan blazer dan rok berwarna cokelat muda tersenyum menjawab sapaan karyawan yang melewatinya di koridor. Ia berjalan hingga ruangan paling ujung, hanya suara hak tingginya saja yang terdengar. Setelah tiba di depannya ia mengetuk pelan pintu itu lalu masuk.

"Sayang, nanti kamu ada rapat jam 2." 

"Iya, laporannya udah selesai?" Gadis yang mengenakan blazer hitam dengan kemeja putih bermotif garis vertikal sedang duduk sambil membaca beberapa lembar dokumen di tangannya.

"Udah, tadi disiapin Tessa." 

"Sekarang, kita bisa makan dulu? Udah jam 12."

"Bisa." Neratha mengembangkan senyumannya.

Denata melangkah keluar ruangan, semua karyawan yang melewatinya memberi hormat.

"Kamu jangan jalan di belakang donk." Denata berhenti berjalan, lalu menatap Neratha yang berjalan di belakangnya.

"Sini." 

"Den-" Neratha hendak melepaskan genggaman tangannya yang digenggam erat Denata.

"Udah, diem." Denata berjalan cuek.
"Pelan-pelan donk, Bu. Situ enak pake celana dasar. Aku?" Neratha protes karena Denata berjalan terlalu cepat.

"Ya kamu sih gak mau digandeng."

"Gak enak sayang, diliatin karyawan." 

"Suka-suka aku donk. Kantor-kantor siapa?" Denata berhenti berjalan, ia membukakan pintu mobil untuk Neratha. Mereka sudah tiba di parkiran.

"Den, gak gitu. Nanti jadi gosip. Gak enak kalo kedengeran Papa sama Nenek kamu." Neratha menarik seatbeltnya, tapi benda itu nyangkut.

"Biarin aja." Denata mendekat, jarak mereka hanya 5 sentimeter. 

"Aku gak peduli pandangan orang." Denata menatap mata Neratha dalam sambil memasangkan seatbeltnya.

"Tapi-"

"Udah sayang, kamu tenang aja deh ya. Semuanya bakal baik-baik aja. Dan jangan bantah omongan aku!"

"Kan kamu gini lagi." Neratha membuang pandangannya ke kaca jendela. 

"Kenapa? Kamu takut ketahuan orang kalo kita pacaran? Malu ya?" Denata menggenggam setirnya kuat-kuat.

"Nanti nama kamu jelek." 

"Nama aku apa nama kamu?" Denata tersenyum miring.

"Nama kamu lah. CEO perusahaan X ternyata penyuka sesama jenis." Neratha menirukan pembawa berita.
"Wah berita bagus." Denata tersenyum.
"Ih kok bagus sih?!"
"Iya soalnya kamu yang bacain. Hahaha."
"Serius denaaaaa"
"Jangan serius serius thaaaaaa nanti stress."
***
"...tapi kan anda tidak bisa mengambil kebijakan seperti itu sebagai kepala cabang."
"Ini demi kepentingan pemegang saham!"
Rapat berlangsung alot. Neratha sibuk mencatat hal-hal penting dari perdebatan sengit di depannya antara CEO dan Kepala Cabang. Ia melirik jam, sudah pukul tiga sore. Ia mengutak-atik ponselnya di bawah meja, memastikan sesuatu, setelahnya ia berdiri.
"Bapak-bapak, silahkan. Mari kita coffee break dulu sebentar. Hidangan sudah disajikan di ruangan sebelah." Neratha tersenyum dan berhasil mencairkan suasana dingin yang tegang di ruangan itu. Orang-orang penting itu beranjak keluar ruangan, menyisakan Denata yang duduk di kursi pimpinannya dengan muka kusut.
"Yang, udah jangan cemberut ah jelek." Neratha membereskan berkas-berkas di mejanya.
"Dia bebal sih gak bisa dibilangin." Denata melipat tangannya di meja dan menyandarkan kepalanya diatas tangannya.
"Memangnya kamu gak bebal?" Neratha mendengus, tertawa kecil.
"Jahat." Denata menatap Neratha dengan tatapan tajam.
"Mau aku ambilin apa? Aku ambilin kopi ya?" Neratha berjalan mendekat.
"Gak. Gak usah." Denata masih tidak mengangkat kepalanya.
"Bentar lagi habis loh waktu breaknya." Neratha menunduk, menyejakarkan wajahnya dengan Denata lalu mengelus kepalanya pelan.
"Apaan baru juga mulai." Denata bangkit dan berjalan kearah pintu. Neratha mengikutinya dari belakang, dikiranya Dena ingin gabung ke ruangan coffee break di sebelah. Tapi dugaannya salah, Denata menutup pintu dan menguncinya.
"Den, jangan dikunci ah-"
"Diem. Aku mau gini sebentar aja." Neratha diam, kalimatnya dipotong. Ia membiarkan Denata memeluknya.
"Capek banget ya? Sabar ya, bentar lagi jam lima kok." Tak ada jawaban, Neratha mengelus punggung Denata, mencoba menenangkannya dan memberinya kesabaran. Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Denata segera melepas pelukannya, Neratha kembali ke meja, pura-pura melihat berkas.
"Ini kenapa kok dikunci-kunci?"
Seorang bapak-bapak memasuki ruangan.
"Ya gak apa-apa Pak. Memangnya kenapa?" Denata menjawab sekenanya. Bapak itu tidak menjawab, lalu menatapi Denata dan Neratha bergantian, setelahnya ia mengambil ponsel di tasnya dan berjalan keluar.
***
"Akhirnya pulang juga..." Denata menghempaskan tubuhnya keatas kasur.
"Mau minum apa?" Neratha berjalan keluar kamar mereka, menuju dapur apartemen.
"Gak usah, aku mau tidur aja. Kamu sini deh temenin aku kalo gak ada kerjaan!" Teriak Denata dari dalam kamar yang pintunya terbuka.
"Air putih ya. Nih. Harus minum pokoknya." Neratha masuk ke dalam kamar membawakan segelas air.
"Kenapa harus diminum?" Denata yang sedang tengkurap bersama bantal-bantalnya menatap Neratha sambil tersenyum.
"Supayaaa kamuuu gak dehidrasi." Neratha duduk di sebelahnya.
"Ooh. Kirain udah dijampi-jampi supayaa gak bisa lupain kamu!"
"Kamu tuh jayus tau gak."
"Tau kok tauuuu"
Mereka tertawa bersama.
"Pengen liburan. Kita ke Sydney yuk, kamu mau?" Denata melihat-lihat pemandangan Sydney di tabnya.
"Enggak. Aku mau kerja. Kita baru lulus 6 bulan masa udah pergi liburan aja. Dasar pemalas kamu maunya enak aja." Neratha membaca sebuah majalah di tangannya.
"Dasar tunangan gak asik!" Denata melempar bantal kearah Neratha.
"Jadi tunangan yang asik harus gimana?!" Neratha meletakkan majalahnya dan segera mendekati Denata, menggelitiknya habis-habisan.
"Aaaaaaah! Ampuuun!" Denata tidak bisa bergerak.
***








Nuansa Rasa PadamuDär berättelser lever. Upptäck nu