34. Be Apart

1.3K 125 14
                                    

Siang itu mading ramai, beberapa siswa bersorak sorai. Pengumuman beasiswa luar negeri telah tertempel. Nama-nama yang ada di papan itu bersuka cita, berteriak, tertawa, dikerumuni teman-temannya, mendapat ucapan-ucapan selamat.

Sedangkan Neratha terduduk di West Garden. Menangis. 

"Udah Tha, yang sabar." Renata mengusap punggungnya.

"Kamu harus tetap semangat." Vania menambahkan.

"Gabisaaa Ren. Van, aku gak kuat." Neratha masih menangis tersedu-sedu. Suaranya pilu. 

"Tha kendaliin diri donk. Ini masih di sekolah." Renata mengingatkan.

"Ga kuat Ren." Neratha menjawab dengan susah payah di sela-sela tangisnya. Dua orang temannya hanya menatapnya sedih, tak tahu harus berbuat apa.

Satu jam sebelumnya...

Di kantor kepala sekolah, Denata tersenyum lega setelah meminta Kepala Sekolah meralat pengumuman yang akan ditempel hari ini. Dia cukup puas sudah melihat nama kekasihnya disana sebagai salah satu penerima beasiswa yang lolos ke Belanda.

"Kamu yakin sama keputusan kamu ini?"

"Saya yakin Pak."

"Melepaskan beasiswa kamu ke Belanda itu tidak akan membuat kamu menyesal?"

"Tidak, Pak."

"Kenapa kamu rela memberikan kesempatan ini untuk teman kamu?" 

"Karena Refan siswa sekolah saya, Pak. Saya tau keadaan ekonomi keluarganya bagaimana. Saya sarankan Bapak mendahulukan penerima beasiswa di sekolah ini agar didahulukan kepentingannya untuk lanjut sebagai penerima beasiswa ke universitas."

"Tapi kan ketentuannya sudah diurut berdasarkan rangking dan prestasi, Dena. Bisa-bisanya kamu menukar, memberikan posisi kamu yang memang tersaring murni untuk dia yang memang tidak lolos."

"Ini hak saya, Pak. Keputusan saya. Saya masih mampu kemanapun saya mau, dibanding Refan yang entah kapan akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi."

"Ya. Baiklah. Saya paham. Terima kasih kamu sudah rela memberikan kesempatan ini untuk temanmu." Pak Kepala Sekolah mengulurkan tangannya, menjabat tangan Denata. Tak banyak jiwa-jiwa rela berkorban yang bisa sampai sebesar ini.

Denata berjalan keluar, kembali ke kelasnya. Ia melewati meja Neratha, tersenyum tipis padanya. Neratha juga tersenyum. Sebelum ia tau kenyataannya...

Bel istirahat berbunyi. Murid-murid menghambur ke luar kelas. Beberapa heboh setelah melihat pengumuman di mading.

"Sayang, pengumumannya udah keluar! Liat yuk." Neratha bersemangat, senyum tak luput dari wajahnya. Senyum bahagia yang tidak akan Denata lupakan.

"Iya ayo." Denata tersenyum tipis. Mereka berjalan beriringan.

"Kamu kok liatin aku terus?" 

"Gapapa donk." Denata mendadak muram. Langkah mereka tiba di mading.

"Etha! Selamat ya!" 

"Selamat Tha!"

"Neratha selamaaatt!" Beberapa teman-teman kelas menyalami dan memberikan pelukan selamat pada Neratha.

"Yaampun Tha gokil! Selamat ya!" 

"Kakak hebat. Selamat ya!" 

Dan ucapan-ucapan lainnya. Tapi wajah Neratha tidak nyaman, dia mencemaskan sesuatu. Ia mendekat ke mading dan membaca nama-nama yang lolos. Segera ia menarik Denata pergi menjauh darisitu. Mereka kembali ke kelas.

Nuansa Rasa PadamuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora