Chapter 16 (b)

Mulai dari awal
                                    

Maunya begitu. Namun pada beberapa halaman pertama, selain ekspresi Aidan, kata-kata tertulis membayang jelas meski sudah kututup mata rapat-rapat. Kubuka mata sebelah. Ini tentang aku. Mataku melebar, membaca dengan cara normal, sementara degup jantung bergema di dada.

Dear RR,

Setelah Kei dan River, kamu adalah keajaiban-1-Januari keempat. Kupikir, tiga adalah batas maksimal. Tapi kebodohanku sepertinya enggak berbatas. Nyaris saja Koda dan Pak Wisnu jadi korban. Untunglah, kamu muncul sebagai bonus. Iya, aku merasa ini yang terakhir. Paling istimewa dari yang istimewa. Semua keajaiban-1-Januari mengubah hidupku. Sebelum kamu datang, aku juga sudah punya tujuan. Tapi kamulah yang membuat setiap hariku jadi bermakna.

Pertanyaan yang langsung tebersit: siapa keajaiban ketiga?

Kertas, tulisan tangannya, tinta yang mengering, serempak menyalurkan emosi dan menggaungkan apa yang diingat Aidan saat itu. Sebagai jawaban, wajah Aidan muncul.

Andai aku melihat kenangan ini kemarin, pasti aku mengira Aidan membayangkan diri sendiri. Aku tahu sekarang, Aidan menulis sambil mengingat kembarannya. Dialah keajaiban ketiga.

Lalu, keajaiban keempat?

RR, tentu saja. Dan wajahku muncul. Terkesiap, aku menjatuhkan diary di kasur.

Dari Koda, aku sudah tahu, akulah yang menyelamatkan Aidan waktu itu. Soal perasaan Aidan terhadapku, aku pernah merasa ge-er dan berharap. Pernah menduga-duga dan merasa yakin. Tapi, wajahku yang dikenang Aidan benar-benar mengejutkan. Kucel, kotor, seperti anak gelandangan. Ya Tuhan, kapankah itu? Karena aku tidak ingat, besar kemungkinan waktu aku kelas 9 pada 1 Januari, saat otakku korslet oleh kasus Lilo.

Perasaan haru mendesak naik, menyekat tenggorokan. Aku sudah nyaris menangis lagi. Pertahanan terbaik adalah dengan mengomel. "Aidan, bagaimana cewek kayak gitu kamu anggap keajaiban? Enggak bisa ya, kamu bayangkan aku dalam keadaan lebih baik?"

Aidan tidak menjawab. Dadanya naik turun teratur. Damai. Aku menghela napas, menyusut ingus. Bahkan versi gelandanganku mendapatkan tempat di hati Aidan.

Tiba-tiba saja aku ingin mencoba tanpa clairtangency. Bagaimana rasanya menjadi cewek biasa, berdebar-debar membaca yang tersurat, memperkirakan yang tersirat? Kupeluk bantal dengan tangan kanan, memegang diary dengan tangan kiri.

Dear RR,

Aku ingin berteriak pada langit. How happy I am! Kamu masuk ke sekolahku. Ada gunanya juga meninggalkan brosur DIHS di sana. Sekarang, tinggal cari cara memulai. Aku tahu banyak tentang kamu, bakal sulit untuk pura-pura baru kenalan lagi. Harusnya aku masuk ekskul drama, belajar akting. Tapi posisiku juga sulit. Entah gimana, cewek-cewek norak itu menganggap aku milik bersama. Cewek, selain River, bakal mereka panggang hidup-hidup kalau deketin aku secara pribadi. Aku khawatir enggak selalu ada untuk melindungimu. Jadi, pelan-pelan saja ya. Lagian, kamu perlu waktu untuk mengingat semuanya. Pasti ada jalan. Aku akan menemukannya untukmu.

Mataku mengerjap. Kupukul-pukul dadaku, mengusir sesak yang terbangun dengan cepat. Oh, Aidan, maafkan aku. Setiap kali kamu mendekat, aku malah lari menghindar. Bahkan saat aku mulai merasa kamu tahu sesuatu, aku pilih mengabaikan.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang