Chapter 15 (b)

2.7K 605 270
                                    


Aku tersedak. Kei menggunakan istilah "bela mati-matian" dengan wajar, tapi efeknya menusuk jantungku. Sementara Aidan memberikan isyarat yang menyuruhku membaca diary-nya. Dengan terbata-bata aku bertanya kepada Kei, apakah Aidan terluka dalam perkelahian itu.

River yang menjawab. "Aku menengok Aidan malamnya. Dia cuma memar di tulang pipi kanan. Aku yang mengobatinya. Seperti biasa kalau Aidan cedera. Jadi, kalau Aidan sampai berdarah-darah, aku pasti ingat." River memandangku. "Kamu yakin itu benar-benar terjadi, Rhe? Parut 3 senti itu berarti lukanya cukup dalam. Proses penyembuhan perlu waktu sekitar 10 hari. Mustahil enggak ketahuan."

"Kecuali kalau kejadiannya waktu kita liburan panjang kenaikan kelas." Kei menyela sebelum aku sempat membantah River. "Mungkin karena dendam, Armand memancing Aidan datang ke Bandrek. Aidan merahasiakan kejadian itu termasuk lukanya. Dua minggu libur, menghilang. Masuk sekolah lagi, dia sudah sembuh, dan kita enggak pernah tahu."

River menggeleng. "Pernah gitu Aidan menghilang dari kita selama dua minggu penuh? Aku memang sering ke Italia. Tapi kamu dan Aidan biasa menghabiskan liburan bareng di Bandung. Lagian, parut 3 senti di pelipis sulit disembunyikan dengan gaya rambut Aidan. Begitu kita ketemu lagi, pasti bisa lihat. Mungkin Rhea keliru. Maksudku, perkelahian kedua itu benar terjadi, tapi Aidan enggak terluka."

Kei mengangguk-angguk. Sementara aku mengaduk-aduk nasi sambil berpikir. Pernahkah aku salah membaca kenangan? Sepanjang sejarah Clair, aku banyak mendapati objek dengan kenangan samar-samar. Getarannya lemah akibat kenangan sudah memudar, alias tidak terbaca atau tidak terlihat. Tapi sekalinya aku bisa membaca objek, berarti aku tidak keliru lihat. Sama saja dengan membaca tulisan yang jelas di tempat terang dengan mata sehat dan normal.

Kuacungkan tangan kananku ke depan Kei dan River. "Clair menangkap kenangan yang jelas terbaca. Enggak dikurangi, enggak dilebihkan. Pelipis Aidan benar terluka. Aku lihat Armand memukulnya pakai kayu. Aku lihat juga parut bekas lukanya. Aku cuma enggak tahu kapan perkelahian di Bandrek terjadi. Sebelum atau sesudah di GOR." Kutarik lagi tanganku untuk kupukul-pukulkan ke kepala. Aku mengerang panjang.

Kei buru-buru menjangkau bahuku. Bersamaan dengan Aidan melakukan hal yang sama. "Hey, don't be so hard on yourself!" kata mereka kompak. Pasti sering bilang begitu pada satu sama lain.

Kudorong piring ke tengah meja. Hilang nafsu makan. Untunglah tinggal sedikit sisanya. Aidan tidak akan mempermasalahkan. "Kei, polisi mungkin sudah mencoret Armand dari kasus ini. Insiden peti mati dan perkelahian di Bandrek juga muncul dari memoriku yang terkubur. Seolah enggak ada hubungan dengan kasus Aidan sekarang. Tapi fakta-fakta mulai saling berkait. Nomor telepon Kafe Bandrek aku peroleh dari loker bekas Aidan. Kamu dapat kertas ancaman di Bandrek. Stella dan Tante Fang mengunjungi Bandrek mencari Sky Lee. Kurator Bandrek adalah ibunya Armand. Dan baru-baru ini, peti mati itu dibeli Mr. Shai Kiowa. Dia itu ...." Suaraku mulai mengambang karena mengingat-ingat.

"Salah satu penumpang yang batal terbang dari Singapura ke sini, waktu Aidan ... ke bandara untuk menjemput seseorang." Kei menyambung, sekali lagi menghindari fakta yang tidak ingin disebutnya.

"Ah, ya!" Aku mengetuk-ngetuk meja dengan buku-buku jemari, lebih bersemangat. "Kalian mungkin pernah dengar namanya disebut-sebut Aidan?"

Keduanya menggeleng. Tampak merasa bersalah. Seakan aku telah menampar mereka dengan pertanyaan, 'Kalian ini sahabat macam apa sampai enggak tahu apa-apa?'

"Menurut kurator Bandrek, dari suaranya, Shai Kiowa adalah laki-laki Indonesia yang sudah tua. WNI atau WNA, kemungkinan dialah yang hendak dijemput Aidan. Orang itu ada di Bandung sekarang. Tinggal di apartemen Taman Perwira lantai 1 No.4. Dekat dari sini. Kita harus temui dia segera." Aku berdiri. Memberi isyarat let's go pada Kei.

CLAIR [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang