Part Three : Shabella Rahady (2)

58 6 0
                                        


"Oh, Bella.. baru bangun? Wah, rejekinya pasti sudah habis dipatok ayam, tuh.."

Aku baru saja keluar kamar ketika ayah menyapaku, beliau sedang membaca surat kabar sembari menikmati secangkir kopi hangat. Aku hanya menguap, malas menimpali ucapannya. Selesai sholat subuh tadi aku memang kembali tidur karena masih mengantuk. Untunglah tadi malam aku berhasil mengebut, jadi pagi ini aku tinggal menyerahkannya ke Naufal. Sambil sempoyongan aku berjalan menuju dispenser, hendak minum.

"Tadi malam temanmu ngapain nelpon malam-malam?" seperti biasa, Ayah memulai obrolan. Sembarang mengambil pembahasan. Sementara Ibu datang sembari membawa sepiring gorengan. Harum sekali dan masih hangat. Baru keluar dari penggorengan. Bohong kalau aku bilang tidak tergoda dibuatnya.

"Nggak ada apa-apa," jawabku sambil mencomot sebuah pisang goreng. Mengunyahnya. "Cuma Tanya tugas.."
Ayahku mengangguk-angguk. Menyeruput kembali kopinya. Sementara matanya tetap terpaku pada Koran.

"Kasus kemarin sudah selesai belum, Yah?" Ibuku bertanya, bergabung duduk. "Katanya pelakunya cukup pintar, ya?"

Sambil menikmati gorengan, aku menyimak pembicaraan mereka berdua. Aku tahu kasus itu, kasus pembunuhan ruang tertutup yang terjadi di daerah perumahan kota. Konon pelaku seakan lenyap begitu saja tanpa meninggalkan sedikitpun bukti. Seperti Jack The Ripper, hanya saja, tubuh korban yang ini tidak diutak atik oleh pelakunya, hanya sebuah pisau milik korban yang menancap di leher. Selainnya tak ada bukti yang mencurigakan.

Awalnya, kepolisian menyangka korban bunuh diri karena stress, tapi ketika mengetahui hasil otopsi mengungkapkan bahwa korban meninggal karena racun, kepolisian memutuskan untuk berfikir ulang.

Obrolan Ayah dan Ibu tetap berlanjut meski Ibu sudah kembali ke dapur menyiapkan sarapan.

"Begitulah." Mata ayah belum beralih dari Koran. "Tapi di akhir klimaks, ketika kami hendak menutup kasus sebagai kasus bunuh diri karena kurangnya bukti, ada Anak SMA yang tiba-tiba membuat kebenaran kasus itu segampang puzzle anak kecil.."

"... Hari ini ia mejeng di halaman utama Koran, lengkap dengan analisisnya yang mencengangkan.." lanjut Ayah seraya menunjukkan sebuah halaman utama koran hari ini yang sedang dibacanya.

"Hebat sekali anak ini, namanya Rengga Dirmana, Ayah tidak tahu ini hanya perasaan Ayah saja atau bukan, tapi rasanya wajah anak ini sedikit familiar .."

Eh, Ayah tadi menyebut apa?

"..Dia bilang kalau ada kasus rumit lagi jangan segan-segan untuk memanggil.. Ehhh?" ucapan Ayah terhenti ketika aku dengan terburu-buru merebut koran yang ditunjukkan ayah. "Ada apa ini merebut-merebut segala?"

Aku tak menghiraukan ucapannya Ayah, saat ini artikel Koran yang ada dihadapanku dengan sukses menyita perhatianku. Benar, Rengga Dirmana. Kali ini tak ragu lagi, Rengga Dirmana yang ini sama dengan Rengga Dirmana yang sering mengangguku itu. Bahasanya sama, alamatnya yang ku ketahui dari profilpun juga berada di sekitar daerah ini.

Ternyata wajahnya begini ya? Dengan penuh penasaran, aku membaca analisis yang tersedia pada artikel tersebut dengan saksama.

"Kenal sama anak itu ya, Bell?" Ibuku yang sedang menggoreng telur memandangku heran. "Temenmu?"

Cepat-cepat aku menggeleng. "Ah, nggak, nggak kenal, cuma pernah denger namanya ..." Aku bangkit, mengembalikan Koran itu pada Ayah. "Aku siap-siap berangkat sekolah dulu, ya Yah, Ibu.."

Ayah dan ibuku mengangguk. Sementara aku melangkah ke kamar mandi dengan perasaan kebat-kebit. Sepertinya rasa khawatirku semakin bertambah setelah membaca artikel itu.

Countdown to Zero : 3Donde viven las historias. Descúbrelo ahora