Roschild Boarding School

37 13 5
                                    

Matahari bersinar terang saat aku diantar ibuku ke sekolah asrama di kota sebelah. Sebuah sekolah yang terkenal memiliki bangunan ala kastil tua itu katanya merupakan sekolah asrama favorit di Inggris. Bangunannya sudah ada sejak tahun 1606 dan pada tahun tersebut pernah terjadi pembantaian atas keluarga bangsawan yang menghuninya.

Nama sekolah asrama itu adalah Roschild Boarding School. Memang, Sekolah Roschild merupakan sekolah favorit, tetapi ada satu hal yang membuatku aneh. Berbeda dengan sekolah lainnya yang notabene berlokasi di pusat kota, Sekolah Roschild malah berlokasi di tengah hutan.

Sekarang, mobil yang dikendarai Ibu pun sudah memasuki area hutan. Beberapa kali, kulihat rambu peringatan adanya kawanan babi hutan di pinggir jalan aspal. Aku pun menghela napas gusar begitu atap runcing bangunan sekolah terlihat di antara tingginya daun pepohonan.

“Kau hanya akan berada di sini selama setahun. Setidaknya sampai ayahmu sudah terbukti tidak bersalah atas tuduhan korupsi itu,” ucap Ibu yang sepertinya menangkap apa yang menjadi kegusaranku.

“Hm,” balasku seadanya.

Tidak memerlukan waktu lama, sampailah kami di depan sebuah tembok beton usang yang di tengahnya terdapat pagar besi berkarat. Pagar-pagar itu terbuka otomatis ketika mobil kami lewat. Hingga akhirnya tibalah kami di sebuah halaman rumput luas yang di ujungnya terdapat bangunan kastil tua.

Ibu memarkirkan mobil di bawah pohon, tempat di mana tidak terlalu ada banyak rumput ilalang yang tumbuh. Ilalang? Ya, benar. Di beberapa spot halaman ini, ilalang bertumbuh subur seakan-akan mereka sengaja diberi pupuk dan air setiap hari.

“Ayo, masuk,” ucap Ibu sembari mengeluarkan koperku dari dalam bagasi.

“Hm.” Lagi-lagi aku menjawab singkat. Tidak, kurasa lebih tepatnya enggan.


🏰


Tidak banyak murid yang tampak berkeliaran di sepanjang koridor begitu kami masuk ke dalam bangunan lewat daun pintu raksasa yang ada di depan. Aku tentu saja asyik memerhatikan keadaan sekitar. Mulai dari dinding yang penuh lukisan orang zaman dahulu yang berekspresi datar, lantai batu hitam yang mengkilat, sampai langit-langit yang tidak dipasangi satu pun lampu.

Aku sempat heran, sih, tetapi langsung ber-oh ria begitu sadar bahwa terdapat rak-rak kecil untuk tempat lilin di sepanjang dinding.
Sementara aku sibuk memerhatikan lingkungan sekitar, Ibu justru sibuk melihat brosur yang sedari tadi ada di tangannya. Tampaknya wanita itu tersesat karena gambar peta yang tercetak di brosur memiliki ukuran kecil. Dan, parahnya, kaca mata Ibu tertinggal di atas meja makan.

Sungguh, benar-benar ceroboh. Tadi pagi memang sempat terjadi cekcok antara Ibu dan Ayah. Hingga pada akhirnya kami terlambat berangkat. Jika sudah seperti itu, maka Ibu akan menjadi pribadi yang terburu-buru hingga melupakan kaca matanya sendiri.

Karena asyik dengan pikiran masing-masing, tanpa sadar, langkah kami pun sampai di tangga menurun. Karena tidak melihat, alhasil tubuh kami terjatuh sampai berguling ke dasar. Awalnya kepalaku terasa sangat pusing. Dunia seakan berputar tak tentu arah, tetapi semua itu sirna ketika tangan Ibu membantuku berdiri.

“Ayo, cepat, Johan. Kepala sekolah tidak akan mau menunggu lebih lama lagi,” ucap Ibu tergesa.

Ibu memerhatikan secarik brosur di tangannya sekali lagi lalu berhenti di depan sebuah pintu berukir naga. “Halo,” ucapnya sambil mengetuk.
Namun, tidak ada jawaban dari daalam.

“Halo, ini dengan Nyonya Stevenson yang seminggu lalu menelepon. Hari ini putraku akan mulai bersekolah di sini,” ucap Ibu lagi.

KRIET....

Pintu terbuka lebar. Alhasil, terlihatlah seorang wanita tua dengan rambut putih yang sedang melotot. Ekspresinya benar-benar sangat aneh dan mengerikan. Mirip sekali seperti seorang drakula karena kulitnya benar-benar pucat. Seakan, tidak ada darah yang mengalir di balik kulitnya.

“Ah, Anda pasti—“ Kalimat Ibu langsung terputus begitu si wanita tua berjalan tergesa melewatinya begitu saja.

“Hei! Kenapa Anda mengabaikan kami?!” seru Ibu geram.

“Um, Ibu, tenanglah. Tunggu di sini dan biarkan aku mengejarnya,” ucapku berusaha meredakan emosi Ibu.

Dan seperti ekpetasiku, Ibu setuju untuk menunggu.


🏰


Netraku melotot kaget. Napasku tersekat begitu melihat apa yang ada di depan. Tadi, aku baru saja pergi ke arah si wanita tua menghilang. Hingga pada akhirnya aku menemukan dirinya di hadapan sebuah tangga. Di sekitar wanita itu, ada beberapa murid berseragam hitam dengan dasi kupu-kupu yang menggantung di leher.

“Kenapa bisa terjadi?” tanya si wanita tua.

“Maafkan kami, kami tidak tahu, Madam,” jawab salah satu murid.

“Kalau begitu, bawa mayat mereka ke dapur dan suruh koki mencincangnya. Tidak ada yang boleh tahu tentang kejadian seperti ini,” ucap si wanita tua lagi, “aku tidak mau reputasi sekolah kita menurun hanya karena ada yang tercatat pernah mati di sini.”

“Baik, Madam,” ucap para murid bersamaan.

Ya, hal itu benar-benar membuatku syok. Siapa sangka orang-orang di sekolah ini rela melakukan hal tabu semacam itu hanya demi menjaga reputasi sekolah mereka. Terlebih, mereka melakukannya terhadap mayatku dan Ibu.

🏰

Di dunia ini memang banyak kejutan. Siapa tahu orang yang duduk di sebelahmu saat ini merupakan orang yang rela melakukan apa saja demi menjaga image-nya. Termasuk membunuh seseorang.

• T-Rex

Sigrún StoriaWhere stories live. Discover now