Hanahaki I

249 41 19
                                    

"You made flowers grow in my lungs and although they are beautiful, I can't breathe."

-- Rei Tomoya

🦉

Dear Diary ...

London, 17 Januari 2014

Namaku Jennet. Usiaku 15 tahun dan aku sangat suka dengan musik akustik. Namun, ada satu masalah yang melanda diriku. Ah, ini benar-benar sangat menyebalkan sekaligus membuatku malu. Meskipun aku suka musik akustik, tapi ... aku sama sekali tidak bisa memainkannya. Oke, mungkin setelah ini ada dari kalian yang berpikir bahwa ah, karena gadis itu tidak bisa bermain musik, pasti dia jago bernyanyi.

Ketahuilah, kalian salah besar. Aku tidak bisa bernyanyi. Suaraku jelek. Saking jeleknya, ketika aku berteriak maka kaca jendela milik tetanggaku bisa pecah berkeping-keping. Setelahnya? Tentu aku dimarahi. Orang-orang di kompleks perumahan Bougenvillia sudah hapal betul dengan suara emas yang kumiliki. Huft, bahkan pernah suatu hari guru seni di sekolahku melarangku bernyanyi ketika ada tes musik.

"Hei, Jennet! Melamunkan suara jelekmu, lagi?" Seorang pemuda berambut hitam melompat masuk ke jendela kamarku. Kulitnya yang khas orang Asia itu membuatku sadar, siapakah yang baru saja menerobos masuk rumahku.

"Rei, lagi-lagi kau tahu apa yang kupikirkan, ya?" cibirku miris. Kini, pandanganku menatap sesosok pemuda jangkung dengan netra sipit yang tengah mengelus-elus permukaan mengkilap dari ukulele barunya.

Aku mendelik sebal ke arahnya lalu berkata, "Ceritanya mau pamer, nih?"

"Wah, kau benar-benar tahu apa yang kupikirkan, ya? Hahaha!" Pemuda Asia itu---Rei---langsung tertawa terbahak melihat reaksiku. Entahlah, setiap kali aku menunjukkan raut sebalku kepadanya, pemuda gila itu akan langsung menganggapnya sebagai bahan tertawaan.

Hari-hari kami selalu berlalu seperti ini. Setelah menelepon ibuku, Rei akan masuk lewat jendela kamarku sambil membawa sebuah gitar ataupun ukulele. Kemudian dia akan mulai meledekku dan entah sejak kapan mulai memainkan sebuah lagu untukku. Ah, benar. Memang selalu seperti ini tetapi, entah kenapa aku tidak pernah merasa bosan.

Rei Tomoya namanya. Sahabat karibku sejak kecil. Aku tidak ingat kapan dan di mana kami bertemu sampai pada akhirnya dapat menjalin sebuah ikatan persahabatan. Semua memori itu tertutup oleh bagian putih menyilaukan yang bersumber dari kehangatan dan kegembiraan yang selalu Rei berikan. Ah, dia sahabatku yang terbaik.

"Hari ini mau lagu apa?" tanya Rei kepadaku. Jemarinya sibuk menyetel senar-senar tipis ukulelenya yang sama sekali tidak dapat kupahami.

"Um, Count On Me," jawabku.

"Baiklah, sesuai permintaanmu, Tuan Putri!" ujar Rei menyetujui permintaanku. Bibirnya tersungging dengan manis seperti biasa. Kemudian jemari kirinya mulai membentuk kunci-kunci yang tak kupahami sedangkan jemari kanannya mulai bergerak naik turun memainkan senar.

If you ever find yourself stuck in the middle of the sea,
I'll sail the world to find you
If you ever find yourself lost in the dark and you can't see,
I'll be the light to guide you

Ah, sial. Lagi-lagi jika Rei sudah bernyanyi seperti saat ini, secara perlahan aku akan langsung terlarut dalam suaranya. Hatiku bermelodi di antara nada-nada yang keluar dari ukulele milik Rei. Sungguh, aku paling suka jika Rei sudah di mode seperti ini. Benar-benar begitu tenang. Berbeda ketika dia sudah kembali ke mode normalnya, pecicilan dan sama sekali tidak bisa diam. Aku heran, dengan bakat seperti itu, kenapa Rei tidak ikut band sekolah saja, ya?

Huft, mungkin akan kutanyakan suatu hari nanti.

🦉

London, 23 Januari 2014

Sigrún StoriaWhere stories live. Discover now