Aku tidak tahu harus menjawab apa. "Mungkin."

"Kau ingat pertama kita bertemu?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Aku tidak ingat."

"Saat kita kelas satu, saat itu hujan. Banyak yang menunggu hujan reda di depan kelas. Kelasku menyanyi bersama dan di seberang gedung, saya melihatmu sedang memandangi hujan. Saya masih bernyanyi sembari melihatmu, lalu apakah kamu tahu apa yang terjadi? Saat saya meneriakkan satu kata dalam lagu itu, kamu menoleh pada saya. Kamu mungkin tidak sadar, tetapi saya sangat ingat," terangnya dengan antusias.

"Memangnya lagu apa yang kalian nyanyikan?" tanyaku penasaran.

"Lagu milik Trio Libels, Gadisku," kata dia. "Saat aku mengatakan, 'gadisku' kamu menoleh dan dalam waktu yang sangat singat itu saya merasa punya seorang gadis sepertimu," ungkapnya. "Saya merasa itu adalah takdir. Suatu saat mu—"

"A-aku mau jadi gadismu," spontan aku mengatakan itu.

Darma menoleh dengan wajah yang sangat kaget.

"Se-setelah ini selesai," kataku yang langsung memalingkan wajah—kurasa pipiku sedang memerah.

"Rema," panggilnya.

Aku kembali menghadapnya. Dia tengah menatapku dengan sangat kuat. Itu membuatku benar-benar gugup.

"Apa kamu sedang merasakan hal yang sama?" tanyanya.

Aku tentu tahu maksudnya, dengan sedikit ragu aku mengangguk.

Matanya kini berbinar, dia tersenyum, dan mengangguk. "Saya akan berusaha lebih keras."

Melihatnya pulang dengan wajah yang tampak gembira, aku pun tersenyum. Saat di kamar, aku memeluk guling dengan begitu kuat. Aku sedang kasmaran.

"Kenapa kamu jadi sering senyum-senyum sendiri sih? Di kelas tadi juga, sekarang juga." Naya tampak penasaran dengan sikapku.

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa," jawabku yang kembali fokus pada buku di atas karpet ruang tengah ini.

Dia menggoyang-goyangkanku. "Pasti Darma ya? Ayo ceritakan! Pelit banget!" katanya.

"Ayo kerjakan PR-nya!" seruku.

"Pelit!" Naya masih kesal. "Eh, tahu tidak? Sari kok jadi beda, ya?"

"Beda kenapa?" tanyaku sembari menulis.

"Beda saja. Dia tidak dandan seperti biasanya. Apa kamu tahu alasannya?" tanya Naya yang membuatku menggeleng.

Tiba-tiba aku ingat saat ekspresi Darma tampak murung setelah bicara dengan Sari. Kurasa mereka membicarakan hal serius. Lagi pula, keesokan harinya Sari dengan mudahnya mau menyerahkan surat-surat itu padaku. Aku jadi penasaran tentang apa yang dikatakan Darma pada Sari.

"Aku masih penasaran dengan rambutmu, apa aku boleh minta satu helai? Maksudku di bantalmu pasti ada satu atau dua helai rambut, kan? Bagaimana jika aku mengguntingnya? Apa akan keluar darah?" tanya Naya.

"Jangan bicara terus, ayo kerjakan!" seruku agar Naya fokus pada PR.

Aku tidak pernah memikirkan itu. Tiba-tiba, aku jadi penasaran dengan kata-kata Naya. Menggunting rambut yang sudah rontok, apa jadinya, ya?

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Apakah kalian nyaman dengan alur cerita ini?  Atau banyak hal yang kalian bingungkan?

3. Dari skala 1-100, seberapa besar rasa penasaran kalian pengin tahu ending cerita ini?

4. Beri aku semangat buat tamatin cerita ini (di draft) sebelum tanggal 1 Juni!

Siapa pengin lanjut?! Comment: Oye-oye!

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kesempatan foto bareng dengan Mayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hadiah permainan di Bagian 28: Mendapatkan kesempatan foto bareng dengan Mayang.

Dedarah 「END」Where stories live. Discover now