"Masih takut, ya?" ejeknya.

"Sudah, turuti saja!" pintaku yang tidak mau menjawab.

Dia pun mau ikut masuk ke dalam. Di ruang tengah, dia langsung terpaku saat melihat piano baruku. "Boleh saya mencobanya?"

"Eh, kau bisa?" tanyaku.

Dia menaikkan alisnya dan tersenyum, itu membuatku langsung mengerutkan kening. "Mainkan saja," kataku.

Dia pun langsung duduk di depan piano. Sementara aku, segera menuju ke dapur. Saat melewati pintu menuju sumur yang terbuka, aku segera menutupnya. Sekarang, aku mendengar suara piano itu. Aku menoleh ke arah Darma, permainan pianonya cukup bagus.

Aku tidak tahu lagu apa yang sedang dia mainkan, tetapi dari apa yang kudengar pastinya lagu itu adalah lagu sedih. Karena lagu itu, saat membuat teh aku mulai teringat Ayah. Dia juga bisa bermain piano seperti Darma.

Dulu dia juga punya piano, tetapi Ayah menjualnya kurasa itu saat kami sedang kekurangan uang. Sungguh berbeda dengan sekarang, Ibu memiliki tiga ruko di kota—dia biasanya bekerja di ruko pertama—dan mobil baru. Bahkan, dia mau membeli rumah.

Darma meminum teh yang aku buat di beranda rumah, dia kembali berdiri melihat ke atas. "Bulan punama mungkin akan datang kurang dari dua minggu lagi," katanya saat melihat bentuk bulan yang belum setengah itu.

"Aku tidak percaya padamu," kataku.

"Kenapa tidak?" Darma menoleh padaku.

"Kau bilang kau buruk dalam menghitung," ejekku.

Dia tertawa kecil. "Iya juga. Lagi pula, bulan purnama tidaklah penting," kata dia.

"Lalu, apa yang penting?" tanyaku.

"Kamu."

Aku langsung mengerutkan dahi. "Tahu tidak? Sebelumnya, aku sangat tidak suka padamu," kataku.

"Kenapa? Memangnya saya melakukan apa?" tanya dia yang kurasa hanya pura-pura penasaran.

"Semua perempuan membicarakanmu. Itu sangat menyebalkan. Apalagi mereka suka menjerit saat melihatmu main bulu tangkis," jabarku. "Kau juga sepertinya menikmati itu. Dengan sengaja, kau pernah melempar kausmu yang penuh keringat ke arah mereka. Lalu, mereka memperebutkannya."

"Kurasa itu salah satu hal bodoh yang pernah saya lakukan," ujarnya seraya tertawa. "Tapi soal dibicarakan gadis-gadis, itu di luar area kehendak saya, kan?" tambahnya. "Mungkin kamu ingin menjadi seperti mereka juga, tapi kamu tertalu gengsi untuk itu." Darma menyengir dengan sangat menyebalkan.

"Sembarangan," kataku yang kemudian menghadap ke depan, membiarkan ada jeda tanpa bicara. "Tapi itu sebelumnya, kurasa perasaanku kini berubah."

"Berubah jadi apa?" tanyanya.

"Jadi apa ya? Kau penasaran, ya?" ledekku.

"Pintar banget ya bikin orang penasaran," kata dia seraya tertawa kecil.

Lalu, dia memandangku. Tatapannya tampak penuh. Senyumku luntur karena gugup. Dia mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, tangannya dia angkat dan menyentuh kedua lenganku. Ini membuatku cukup tegang. Aku tidak tahu harus bereaksi apa dengan sikapnya.

"Ma-mau apa?" tanyaku lirih.

"Saya akan menjagamu," kata dia. "Jangan ragu untuk telepon saya ketika kamu takut. Keselamatanmu adalah prioritasku."

Aku terdiam.

Dia melepaskan tangannya dari kedua lenganku, lalu kembali menoleh ke arah langit. "Apa kamu percaya takdir?"

Dedarah 「END」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang