Part 3

16.8K 1K 0
                                    

Sudah berkali-kali Ana mengusap bibirnya dengan keras, berharap jika bekas ciuman yang diberikan Ryou menghilang. Bahkan Ana mengabaikan jika bibirnya lebih membengkak dari sebelumnya dan sedikit nyeri.

Si bastard itu, Ana memejamkan matanya hingga kemudian dia menatap cermin yang memantulkan dirinya saat ini. Ana sungguh kacau dengan rambut acak-acakan dan juga piyama yang beberapa anak kancing terlepas, memperlihatkan pakaian dalam yang dia kenakan.

Dengan sedikit paksaan dan ancaman Ana berhasil membuat Ryou sudah pulang beberapa menit yang lalu. Namun bekas yang ditinggalkan pria itu masih saja terasa.

Ana melangkahkan kakinya menuju kearah sofa, mengambil jas Ryou yang tergeletak disana. Dengan sekali hentakkan Ana melempar jas tersebut jauh-jauh sampai jas tidak bersalah itu hinggap ke dekat tong sampah. Wajah Ana merah padam menahan amarah. Beraninya pria itu merebut ciuman yang akan dia berikan ke suaminya kelak, katakan saja Ana kolot karena masih mempertahankan ciuman pertamanya dan juga kesuciannya, namun Ana hanya ingin menjadi seorang istri yang memberikan hal yang terbaik untuk suaminya kelak.

Suara bel berbunyi membuat Ana menatap nyalang kearah pintu. Takahiro Brengsek Ryou itu sepertinya tidak kapok juga, apa perlu Ana menyewa pengawal agar Ryou enyah dari hadapannya.

Sungguh, sebelumnya dia merasa tidak sebenci ini dengan Ryou namun ketika pria itu menciumnya tanpa izin, rasa benci pada Ryou tanpa sadar langsung timbul dan menguat sekaligus.

"Pergilah sebelum aku memanggil pihak keama--" mata Ana sukses membulat ketika melihat bibinya Rose tengah bersidekap sembari menatap kearahnya penuh raut kebingungan.

"Kau mengusir bibimu sendiri?"

Ana menggeleng cepat kemudian membuka pintu lebar-lebar membiarkan Rose masuk kedalam, "Tidak mungkin, hanya saja tadi kukira bibi adalah kurir yang salah alamat."

"Sampai memanggil pihak keamanan?" Rose meletakkan jas musim dingin milik wanita itu diatas meja kemudian menatap Ana yang tengah menyeduh teh.

"Kurir itu masih yakin kalau dia tidak salah alamat," Ana melirik Rose, berharap jika bibinya percaya padanya.

"Memang seperti itu, mereka hanya tidak ingin lelah karena harus mencari alamat yang pasti, mereka menitipkan pada kita berharap jika barang yang dititipkan bisa kita kirimkan ke alamat yang dimaksud."

Bibinya tidak curiga, Ana menghela nafas lega.

"Ana, aku ingin selama seminggu ini kau tidak pergi kemanapun," ucap Rose setelah Ana menyajikan segelas teh untuk wanita itu, "Takahiro berencana pulang ke Jepang dalam minggu ini, aku berharap kalian tidak bertemu satu sama lain dengan begitu minat Takahiro padamu akan menghilang."

Nyatanya mereka baru saja bertemu beberapa menit yang lalu. Argh, ingin rasanya Ana mengatakan hal yang sebenarnya jika tidak mengingat nantinya Rose akan merasa kalut dan khawatir padanya. Sungguh, Ana tidak ingin membuat Rose repot hanya karena permasalahannya bersama Ryou.

Ana mengangguk, "Aku tidak akan keluar rumah."

"Good girl, aku suka saat kau menurut."

"Memang kau mengenalku seperti apa? si pemberontak?"

Rose menjentikkan jemari, "Benar sekali. Sang pemberontak yang kabur dari rumah tanpa uang sepeserpun, kala itu aku ragu jika kau bisa bertahan."

Jika diingat lagi, sudah dua tahun lamanya Ana tinggal sendiri, tanpa orang tua disampingnya. Hanya Rose saja yang mendampinginya kala ini mengingat anggota keluarga Ana yang lain tidak mengetahui keberadaannya.

"Aku hanya tidak tahan dengan keadaan, mommy terlalu berambisi menjadikanku pemimpin perusahaan selanjutnya."

"Masa depanmu akan terjamin jika berada di jalan yang Karen pilih."

"Tapi aku tidak suka," Ana mengambil cangkir milik Rose yang sudah kosong kemudian menaruhnya di tempat penampungan piring, "Menjadi seorang penulis adalah cita-citaku sejak dulu."

Rose tampak mengangkat kedua tangan membuat Ana yang tengah mencuci cangkir bekas minum bibinya terkekeh geli.

"Aku akui kau sukses menjadi mandiri"

"Terima kasih." balas Ana, kemudian dia membilas tangannya dari sabun. Selepas itu Ana melangkah kembali menuju tempat duduk tepat di dekat halaman belakang rumahnya. Mereka sadari tadi memang berada disana sembari menatap tumpukan salju yang menutupi tanaman.

"Apakah mereka pernah menanyakan keberadaanku lagi?" Ana menatap kearah Rose yang seketika mematung, wanita itu terdiam sesaat hingga akhirnya Ana mendengar helaan nafas kasar dari Rose.

"Tentu saja." Rose terkekeh sembari menepuk punggung Ana beberapa kali, namun mata Rose tidak dapat menipu Ana. Gadis ini tau jika bibinya sedang berbohong sekarang.

=-=

Ana menutup pintu perlahan dikala sudah memastikan Rose pergi. Gadis itu meremas kerah piyama yang dia kenakan, menahan gejolak ingin menangis. Entah mengapa Ana terlihat konyol sekarang, sungguh ini bukanlah sisi Ana yang kuat seperti biasa. Tepat ketika Rose mengucapkan jika orang tuanya masih menanyakan keberadaan Ana, kala itu pula hati Ana terasa teremas ketika mengetahui jika bibinya berbohong, Ana mengakui fakta jika orang tuanya sudah melupakan dirinya.

Sungguh, Ana sudah mengenal bibinya sejak kecil hingga mengetahui dengan jelas gelagat aneh saat wanita itu berbohong. Ketika mengucapkan suatu kebohongan maka mata Rose akan berkedip beberapa kali, sama seperti yang dilakukan wanita itu beberapa saat yang lalu.

Ana tidak menyalahkan bibinya yang berbohong dengan alasan untuk menenangkannya, yang Ana salahkan adalah keadaan yang dia alami mengingat Ana sudah tidak dianggap. Apalagi kata terakhir yang daddy-nya katakan ketika Ana keluar dari rumah masih saja terngiang di pikirannya.

"Jika kau pergi maka kami tidak akan lagi menganggapmu anak, jangan pernah sesekali menginjakkan kaki di rumah ini jika kau tidak ingin melihat amarahku."

Ana memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang sedang bernostalgia mengenang masa lalunya yang menyedihkan. Ini bukan saatnya mengingat masa lalu, Ana sang anak penurut sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Ana, hanya kau yang pantas menjadi  penerus perusahaan keluarga ini. Aku tidak ingin ada orang lain yang menduduki bangku pemimpin yang telah kami siapkan untukmu."

Ana menutup telinga dikala suara mommy nya terdengar. Rasanya kepala Ana ingin meledak tatkala  suara beruntun yang berasal dari masa lalu memasuki pikiran Ana.

Dia berusaha untuk melangkah menuju dapur, mengambil sebungkus coklat kemudian mengunyahnya.

Untuk sekarang hanya makanan ini yang Ana butuhkan untuk menenangkannya pikirannya.

The DominantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang