Kami tidak sampai terlalu dekat dengan air terjunnya langsung. Guru-guru bilang, akan ada waktunya kami bergerak ke air terjun, tetapi bukan sekarang.
"Pertama-tama, sesuai agenda kita, kita akan mengumpulkan sampah plastik."
"Hah? Kita jauh-jauh ke sini hanya buat mungut sampah?" pekik salah satu siswi tidak percaya. Yang lain ikut protes.
Aku hanya bisa menatap mereka semua dengan tatapan datar. Maksudku, jadwal untuk memungut sampah plastik telah tertulis di agenda. Kurasa mereka mengikuti alur tanpa mengetahui jadwal yang akan dilakukan.
Sekolah yang menyiapkan kantong plastik besar untuk meletakan semua sampah-sampahnya. Aku menyiapkan sarung tangan plastik untuk diriku sendiri, karena aku mungkin tidak punya keberanian yang cukup untuk langsung mencuci tanganku di air terjun (sekarang kalau dipikir-pikir lagi, itu pemikiran yang cukup sederhana).
Arlan Pratama menghampiriku lagi saat aku sedang memisahkan sampah plastik dan kaleng kosong.
"Mau langsung bertanya, Pemenang?"
Pertanyaannya membuatku merinding, sepertinya terlalu senang karena bisa membuat Arlan Pratama menyebutku seperti itu. Kedua pipiku juga mendadak panas karena terlalu bangga dengan julukan yang diberikannya. Ah, Alenna, berhentilah besar kepala.
"Aku belum memikirkannya," sahutku berusaha menunjukkan bahwa aku sangat tenang dan aku tidak terlalu menginginkan hal ini.
Arlan Pratama menaikkan alisnya, lalu dia membantuku memungut kaleng-kaleng yang bertumpuk lumayan banyak di sini.
"Lho? Kukira saat kamu menyetujui, kau sudah tahu ingin bertanya soal apa," balas Arlan Pratama tanpa menoleh ke arahku.
Sebenarnya aku menerimanya karena menganggap itu adalah tantangan, tidak lebih.
"Memangnya, kamu kira aku akan tanya soal apa?" tanyaku sambil menatapnya heran.
"Jadwal belajar, makanan favoritku, atau mungkin hari ulang tahunku?"
Aku membalas jawabannya dengan tatapan datar. Sedikit pun, aku sama sekali tidak berencana mencari tahu soal itu.
"Mungkin kamu ingin tahu kenapa aku bisa ranking pertama, padahal kelihatannya aku tidak seserius ini?" Arlan Pratama tertawa.
"Aku tahu kok, kalau kamu belajar," balasku tanpa mengubah ekspresiku.
"Mungkin mamamu pernah ingin masak makanan favoritku sesekali dan bertanya padamu?"
Baiklah, Mama memang pernah bertanya, tapi bukankah Arlan Pratama terlalu percaya diri?
"Aku tahu kamu akan makan masakan Mama. Kamu sopan, kalau sama orang yang lebih tua," sindirku.
"Kalau kamu masak juga, aku akan makan, kok," balasnya.
Aku membuang muka, "Sayangnya, aku belum bisa masak. Tidak perlu berharap."
"Kalau hari ulang tahunku? Memangnya kamu tidak penasaran?"
Baru saja hendak menjawab "tidak", tiba-tiba saja orang-orang dari kelas 8-3 menghampiri kami. Bukan teman sekelas salah satu dari kami, tapi aku tahu mereka mencari Arlan Pratama dan aku tidak ingin berurusan dengan mereka, jadi aku memisahkan diri dengan berpura-pura mengangkut sampah-sampah yang sudah kukumpulkan.
"Selamat hari tua, Arlan!"
Dan kalimat itu cukup untuk membuatku kaget. Untungnya aku tidak mematung dan berhenti seperti orang yang kehilangan kewarasan. Jadi, tadi Arlan Pratama ingin aku menanyakan soal ulang tahunnya, kan? Rupanya hari ini?
Aku tetap melangkah ke arah plastik sampah untuk membuang apa yang sudah kupilah.
Lalu, aku mengangkat kepala saat menyadari ada yang sedang menatapku.
Arlan Pratama masih bersama kerumunan, tetapi dia melempar senyum ke arahku. Kukerutkan kening, berusaha fokus melihat ke arah yang dilihatnya dan sepertinya dia memang sedang melihatku.
"A, Len, Na." Itu yang kutangkap dari gestur mulutnya.
Lalu, Arlan Pratama tersenyum lagi.
DEG.
Aku memalingkan wajah dan di saat itulah, aku langsung bersitatap dengan seorang gadis. Sepertinya dia punya wajah yang familier. Butuh beberapa saat bagiku untuk mengingat bahwa dia adalah Sandra.
"Hai!" sapa gadis itu sambil melempar senyum.
Aku diam selama beberapa saat untuk memastikan bahwa dia memang sedang berbicara denganku. Namun benang merahnya muncul, itu membuatku yakin dia memang berbicara denganku. "Hai?"
"Barusan aku lihat kamu ngomong sama Arlan. Kalian ngomongin apa, sih?" tanya Sandra tanpa basa-basi.
"Bukan apa-apa," balasku.
"Bukan apa-apa? Masak sih?"
"Permisi?" Aku menatapnya dengan tatapan aneh, "Kita tidak saling kenal. Harusnya kamu tidak menanyakan ini kepadaku."
Sandra diam selama beberapa saat, lalu kembali melempar senyum, "Kalau begitu, kita tinggal kenalan, kan? Namaku Sandra."
Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, tapi aku tidak ingin bersalaman dengannya. Kurasa Rania benar untuk yang pertama kalinya, gadis ini memang sangat merepotkan.
"Kalau kamu mau tahu, tanya langsung ke Arlan saja. Maaf, aku mau lanjut pekerjaanku dulu."
Detik saat aku berbalik meninggalkannya, aku melihat Arlan Pratama lagi. Dia masih berada di kejauhan bersama kerumunan. Arlan Pratama menatapku heran. Aku mengerutkan keningku, lalu membuang muka dan berbelok ke arah lain.
Hari ini dan besok akan menjadi hari yang menyenangkan, seperti kata Mama. Aku tidak akan membiarkan hal kecil mengacaukan semuanya.
***TBC***
1 Juni 2019
Cindyana's Note
Hola! 2000 kata!
Semoga bisa menemani sahur kalian!
Ngomong-ngomong chapter besok mereka masih di air terjun, bukan di air train ///garing.
Kalau kalian jadi Alenna, kalian bakal tanya apa ke Arlan? :D
Looks like bentar lagi Red String bakal mencapai 100k views. Congrate! Dan chap 22 adalah Last Station di Air Train. Hiks jangan sampai Red String dua kali lipatnya Air Train.
Aku lagi pengin nulis Red String, nih, so see you so soon!
-Cindyana H / Prythalize
YOU ARE READING
LFS 2 - Red String [END]
Fantasy[Little Fantasy Secret 2] Alenna mungkin terlihat seperti anak SMP kebanyakan, kecuali satu hal yang membuatnya istimewa; Alenna bisa melihat benang merah takdir. Namun Alenna tidak menganggapnya sebagai anugerah yang berarti. Mendapat peringkat per...
The Twenty Second Thread - "Your Gaze is Something Magical"
Start from the beginning
![LFS 2 - Red String [END]](https://img.wattpad.com/cover/167548547-64-k308475.jpg)