22; maaf baru menyadari

524 86 0
                                    

"Rain di mana?" tanya Awan tanpa basa-basi ke pada Febi.

"Oh, kamu yang namanya Awan. Buat apa lagi cari Rain?"

Awan mengacak rambutnya dengan kasar, "Di mana dia?"

"Udah pulang," ujar Febi menyerahkan secarik kertas yang sengaja Rain tinggalkan.

"Kasih tahu dia, aku bakal jelasin semua."

"Kamu masih mau berharap lagi sama dia?" tanya Febi.

Rain mengeraskan volume ponselnya. Jalanan yang semakin bising membuat suara Febi tidak terdengar, "Setelah dengar cerita kamu, aku enggak mau menyia-nyiakan orang yang udah perjuangin aku."

"Cieee.....fall in love nih. Nanti jangan lupa kirim undangan nikahan ya."

"Masih lama, eh udah dulu ya. Nanti aku telpon lagi. Bye..." Rain mengakhiri panggilannya.

Dari balik jendela Rain melihat kedatangan seorang. Untung saja Arjuna yang datang bukan Awan. Segera Rain berjalan membukakan pintu rumahnya. Ia menatap Arjuna yang basah akibat kehujanan. Ia menyuruh Arjuna untuk duduk. Rain masuk ke dalam rumah. Mengambil handuk kering dan membuatkan teh hangat untuk Arjuna.

Lima belas menit kemudian Rain kembali dengan handuk dan dua teh di tangannya. Arjuna membantu Rain yang kesusahan membawa nampan, "Saya senang lihat kamu khawatir."

"Kamu nekat banget ke sini hujan-hujan. Kan bisa besok atau nunggu sampai hujan reda." Rain yang baru sadar baju Arjuna ikutan basah bilang, "Kamu harus ganti baju. Nanti malah sakit."

"Enggak usah saya nggak bakal sakit. Lagipula katanya kamu nggak suka hujan, jadi saya ke sini nemenin kamu. Katanya kamu takut petir, saya ke sini jaga-jaga kalau ada petir yang nakutin kamu," ujar Arjuna.

Pipi Rain semakin panas mendengar rayuan Arjuna. Ia hanya menunduk menyembunyikan senyumannya.

"Besok saya antar kamu ke kedai," ujar Arjuna membuat senyum Rain pudar.

Kedai yang beberapa hari lalu sudah ia tutup. Kedai yang dengan sangat berat ia korbankan demi mengejar harapan, "Kedai kopiku udah tutup Jun. Sekarang, aku enggak punya modal buat buka kedai itu lagi."

"Saya bisa bantuin kamu," ujar Arjuna yang langsung mendapat penolakan dari Rain.

"Enggak! Aku enggak mau kalau harus pinjem uang ke kamu. Aku mau usaha sendiri, enggak mau bergantung sama orang lain," jawab Rain.

Mendengar pernyataan Rain, Arjuna tersenyum. Perempuan di sampingnya memang layak untuk ia perjuangkan. Meski beberapa kali menyakiti hatinya. Namun, Arjuna yakin ia akan bahagia bersamanya.

"Saya juga enggak mau minjemin uang ke kamu. Besok pagi ikut saya," ujar Arjuna.

Rain merutuki mulutnya dan otaknnya yang terlalu percaya diri. Hal itu membuat Arjuna tertawa. Rain menatap lelaki di sampingnya yang tertawa lebar. Belum pernah ia melihat Arjuna lebih bahagia seperti sekarang.

Mungkin bumi benar kita layak disatukan. Nyatanya bahagiamu sekarang yang membuatku senang, batin Rain.

"Jun, kemarin di Jogja aku ketemu sama perempuan. Namanya Febi, dia baik banget sama aku," ujar Rain yang diperhatikan Arjuna,"Dia juga ngizinin aku menginap di kosnya. Kayaknya, baru kali ini aku ngerasa punya teman kecuali Awan."

Tidak usah kamu terangkan saja aku udah tahu sikapnya Rain, batin Arjuna.

"Rain, kamu masih takut?" tanya Arjuna mengalihkan topik pembicaraan. Rain mengerutkan kening, "Kamu masih takut sama hubungan baru?"

"Jun, aku itu penakut sama apapun yang baru. Mamaku udah lama pergi, papa apalagi. Aku bahkan enggak tahu papaku kayak gimana. Yang aku punya tinggal Awan dan sekarang Awan juga ikutan pergi," Arjuna berusaha menjadi pendengar meski nama Awan yang Rain sebutkan, "Terus sekarang kamu datang, baik sama aku. Kita pacaran, Jun aku takut hubungan kita kedepan. Aku takut kamu kembali hilang."

"Rain berdamai sama masa lalu. Ketakutanmu itu ada karena kamu masih dihantui masa lalu. Mamamu pergi, iklaskan dia. Awan pergi, dia masih jadi temanmu juga. Papamu, cari dia Rain," ujar Arjuna.

Rain mengelengkan kepalanya. Mencari papa Rain kata Arjuna? Di mana Rain harus mencarinya? Dikira bumi sesempit kamar mandi apa? Lagipula untuk apa mencari seorang yang bahkan melupakan kehadiran Rain. Jujur, Rain juga ingin bertemu dengan papanya. Tapi, melihat luka mamanya ia jadi mengurungkan niatan awalnya.

"Ada Papa enggak ada Papa itu sama aja. Kehidupan enggak bisa dirubah. Lagipula, Papa juga nggak cari aku Jun, buat apa aku cari dia?"

Arjuna mengangguk memahami perasaan Rain yang masih penuh luka lalu, "Mamamu pasti senang kalau lihat kamu bisa memaafkan Papamu. Dia pasti senang melihat kamu bersikap baik dengan Papamu."

"Sayang, Mama enggak pernah ngajarin kamu jadi anak durhaka. Bagaimanapun juga dia tetap Papamu, " ujar Rahayu.

Rain yang sedang mengunyah makanannya mendadak kesal, "Mama itu udah disakitin dia. Kenapa masih membela sih Mah? Lagian Papa nggak pernah ngurusin Rain. Papa itu bisanya cuma selingkuh Mah."

"Rain!"

"Benar kan Mah? Buktinya Papa ninggalin kita. Papa enggak peduli lagi sama nasib kita Mah."

Rahayu berjalan mendekati putrinya. Ia memeluk Rain dengan erat, "Rain mau janji nggak sama mama?"

"Rain, harus bisa maafin Papa. Papa udah jaga Rain dengan caranya sendiri. Nanti Rain akan tahu," ujar Rahayu.

"Mah..."

"Rain, anak baik. Enggak baik Nak menyimpan dendam. Apalagi sama orang tua," ucap Rahayu memotong perkataan Rain, "Kalau Mama pergi, cuma Papa yang bisa jagain Rain."

Rain semakin menangis mendengar perkataan Rahayu, "Rain...hiks...hiks...Rain nggak suka mama ngomong gitu. Rain sayang sama Mama. Mama harus sama Rain terus."

"Kalau Tuhan lebih sayang sama Mama, Rain enggak boleh marah."

"Rain nggak mau sendiri Mah. Mama enggak sayang sama Rain?" tanya Rain.

Rahayu semakin mengeratkan pelukan. Menenangkan anak sematawayangnya, "Enggak ada Mama yang enggak sayang sama anaknya Rain. Mama sayang banget sama kamu."

Rintik hujan mengiringi air mata yang mengenang. Dalam sekejap wajah Rain sudah penuh air mata. Arjuna masih diam. Membiarkan perempuan itu dengan kenangan. Rain membutuhkan waktu untuk masa lalu yang kelam.

"Arjuna, ke mana aku harus cari Papa? Aku enggak pernah tahu Jun tentang Papa," tanya Rain.

Arjuna berdehem, "Rain, nanti Tuhan akan kirim orang yang bisa bantu kamu. Orang yang mungkin enggak kamu duga selama ini."

"Kenapa kamu bisa yakin?"

"Kalau aku saja bisa yakin, kenapa kamu nggak yakin? Tuhan itu adil. Yang kamu lakukan sekarang, belajar mengiklaskan. Masa lalu itu baik untuk dikenang, tapi juga buruk kalau kamu terlukai ulang."

"Jun, maaf baru sadar kalau kamu yang aku butuhkan," ucap Rain yang membuat Arjuna tersenyum lebar.

"Saya yakin hati kamu itu baik Rain. Buktinya Awan yang menyakitimu berulang-ulang masih kamu maafkan, masih kamu pertahankan. Apalagi Papamu, orang tuamu sendiri."

Rain membenarkan ucapan Arjuna. Lelaki itu benar. Rain sudah dewasa, ia harus bisa berubah. Demi dirinya sendiri dan demi janjinya kepada Rahayu.

"Rain, saya pamit pulang. Kamu hari-hati di rumah," ujar Arjuna mengusap pipi Rain.

"Harusnya kamu yang hati-hati. Makasih ya Jun, untuk semuanya."

"Makasih juga Rain," ujar Arjuna.

Rain menaikkan alisnya, "untuk apa?"

"Untuk kamu yang mau jadi kita."

Rain terseyum. Melambaikan tangan mengiringgi Arjuna pulang. Nyatanya kehidupan tidak selamanya perihal luka.

Seandainya Tuhan tidak mengirimkan kamu untuntukku, aku akan membenci-Nya. Karena tanpa hadirmu aku tidak tahu rasanya bahagia.

PETRICHOR [Lengkap]Where stories live. Discover now