12; pamit

646 90 1
                                    

Rain melepaskan pelukan hangat dari Arjuna. Ia tersenyum, mencoba menguatkan pilihannya barusan. Iya. Ia melepas Awan. Bukan sebagai sahabat tapi sebagai sosok terpenting yang mendiami hatinya.

"Ayo masuk," ajak Arjuna mengandeng tangan Rain.

Tepat saat Arjuna dan Rain masuk ke dalam kedai Awan dan juga Luna berjalan keluar. Awan menatap genggaman tangan Rain yang erat. Begitu juga dengan Rain yang menatap pelukan Awan dengan Luna. Rasanya masih tersisa sakit di dalam hati Rain. Apalagi Awan yang tidak menyapanya. Kenapa sekarang menjadi seperti ini?

Arjuna menarik tangan Rain. Menjauhkan perempuan itu dari tatapan Awan. Rain hanya diam. Mengikuti saja apa yang Arjuna lakukan. Benar kata Awan. Mereka berdua akan terpisah. Awan dengan pilihannya dan Rain dengan pilihannya.

Kenapa melupakan tidak semudah jatuh cinta? Padahal orangnya masih sama. Kamu, batin Rain.

"Kamu mau mengejar Awan dulu?" tanya Arjuna mengikuti pandangan Rain yang masih terpaku menatap Awan dan Luna.

"Aku masih butuh istirahat."

"Rain, boleh saya masuk ke duniamu lebih lama?" Arjuna

Suasana yang ramai tidak membuat Rain berkesan seperti tadi. Jauh di dalam pikirannya masih ada Awan. Tentang Awan yang bersikap dingin dengannya, "Bukannya kamu sudah masuk sekarang?"

"Nama Awan masih menjadi prioritas kamu kan?"

"Katamu kamu bisa memahamiku. Kenapa sekarang menuntutku untuk melupakan Awan?" ujar Rain.

Salah jika Arjuna menuntut lebih? Arjuna juga sama seperti lelaki pada umumnya. Ia punya cemburu. Seperti melihat Rain yang belum bisa melepas bayang-bayang Awan dari hidupnya.

Hening. Tidak ada obrolan panjang seperti sebelumnya, "Rain, bukan cuma saya yang harus paham sama kamu. Kamu juga perlu paham sama saya. Itu gunanya sebuah hubungan."

"Jujur Jun, aku masih bingung sama perasaanku yang ambigu. Aku belum bisa melepas Awan dan aku juga belum bisa nerima kamu sepenuhnya." Rain menghela nafas. Menatap sekitar sebelum tatapannya kembali jatuh kepada Arjuna,"Jun..."

"Rain, percaya sama saya. Rasa itu akan berubah seiring waktu berjalan."

"Kalau pikiranmu itu salah?"

Arjuna berdiri, meraih kontak motor dan pergi. Rain tidak mengejarnya. Mereka butuh waktu sendiri-sendiri. Kalau Rain saja masih bimbang dengan perasaannya, kenapa menerima Arjuna tadi? Jujur Arjuna kecewa dengan Rain. Tapi untuk marah ia tidak mampu.

Rain menundukkan kepala. Mencari titik tenang dipikirannya. Dulu Rain tidak percaya kalau jatuh cinta serumit ini. Tapi sekarang ia paham maksud dari kata-kata itu.

"Rain..."

Merasa terpanggil dengan malas Rain menatap orang itu, "Eh Aurel, ada apa?"

"Rain gue rasa kedai kopi lo harus dirubah. Gini biar gue jelasin dulu," ujar Aurel menarik kursi di hadapan Rain, "Seminggu ini kedai lo ngalamin penurunan pengunjung. Mungkin mereka udah bosan dengan konsep kedai lo. Sebagai barista gue lebih sering berada di sini dari pada lo."

Masalah apa lagi ini. Rain menghela nafas frustari. Ia memijit pelipis kepalanya. Hanya kedai ini yang ia punya. Bagaimanapun juga Rain harus mempertahankan tempat ini.

"Oke, nanti kita ubah konsep kedai kopi ini. Thanks ya."

"Kalau gitu gue kerja lagi."

Rain menganggukkan kepala. Mempersilahkan Aurel pergi. Tidak lama kemudian sosok Awan kembali. Menghampiri Rain dengan raut wajah bahagia.

PETRICHOR [Lengkap]Where stories live. Discover now